Apa pun itu dan siapa pun, penyesalan pasti akan ada diujung. Tetapi, mungkin setelah menyesal mereka akan lega. Karena, yang selama ini menjadi beban sudah pergi dan hilang. - Michel Granata Adisty.
***
Dua pemuda itu duduk berhadapan, hanya dihalangi oleh meja. Penuturan dokter Agam sangat disimak dan didengarkan dengan seksama oleh Daren, teman lamanya itu menjelaskan mengenai penyakit yang diderita Grana selama ini.
"Kalau bisa secepat mungkin, keadaan adikmu sangat parah Ren. Dan kebetulan sekali stok di rumah sakit ini sudah habis, jadi kamu harus cari pendonor sendiri."
Daren menghela napas berat, ia menundukkan kepalanya singkat.
"Aku bersedia," ujar Daren, demi kesembuhan adiknya ia sangat bersedia. Bagaimana pun, ia selama ini berjuang juga demi Grana.
Dokter Agam menatapnya lama, lalu tersenyum manis.
"Baik, tapi kita perlu cek dulu. Kalau cocok kita bisa secepatnya melakukan operasi," jelas dokter Agam, tegas.
Pembicaraan itu sudah selesai dan ditutup oleh Daren, kini ia keluar dan kembali berjalan menuju ruang rawat Grana yaitu ICU.
Kini, keadaan Grana tidak sadarkan diri alias koma. Mungkin itu terdengar sangat miris, dan kalau ia tak bergerak cepat, nyawa Grana adalah taruhannya.
Langkah kaki itu terhenti kala ada dua orang yang ia kenal berdiri menatap tubuh Grana yang lemah di atas brankar dari jendela kaca, itu orang tua angkatnya.
"Masih ingat sama adik saya?" Pertanyaan Daren membuat mereka berpaling dari jendela, dan kini saling berhadapan dengannya.
"Rupanya, kalian bisa meneteskan air mata juga?" Daren terkekeh pedih.
Risma melangkah mendekati Daren, ingin memeluk dan meminta maaf padanya. Tetapi, pria itu menggelengkan kepalanya.
"Kalian menyesal, setelah bertahun-tahun menyiksa adik saya?" Rahang Daren mengeras, menandakan ia sedang menahan emosinya.
Risma dan Hadinata terdiam, mereka ingat saat melakukan kekerasan pada Grana.
"Tapi, nenekmu meninggal karena ulah dia, Daren!" Hadinata mengeluarkan suara, membuat Daren beralih menatapnya dengan senyum miring.
"Kalian masih mempermasalahkan itu, tanpa tahu kejadian yang sebenarnya?"
Daren melangkah santai ke dinding, dan bersender di sana. Ia beralih melihat kondisi Grana dari luar, membuatkan kedua orangtuanya diam.
"Kalian cuman dibutakan oleh kasih sayang pada seorang anak, yang selalu kalian bangga-banggakan dan kalian selalu nilai baik." Mereka terdiam, menunggunya melanjutkan ungkapannya. "Selama ini, kalian tak pernah sadar. Kalau, ada anak yang membutuhkan kasih sayang bukan gunjingan bahkan, caci makian."
Gadis itu berjalan kecil, dengan tubuh yang gemetaran. Takut ia akan dimarahi, dan kehilangan kasih sayang yang selama ini ia dapatkan. Itu egois bukan? Yah, kalau bisa memilih, ia ingin mendapatkannya terus menerus. Tetapi, apa boleh buat. Ini terjadi karena kesalahpahaman, dan salahnya juga tak pernah ungkap bicara.
"Dia, anak yang selalu kalian perhatikan, khawatirkan, bahkan kalian bangga-banggakan. Coba tanya, apa yang dia lihat saat kejadian 11 tahun lalu?" Daren menunjuk ke arah Gabriel, yang baru saja mengganti pakaiannya dari kamar mandi.
Risma dan suaminya menoleh pada Gabriel, anak kesayangannya. Mereka sama-sama menangis, meskipun Nata tak begitu menunjukkannya.
"Ma, Pa, maafin Gabriel!" Gabriel berlutut dihadapan orangtuanya, dengan mendekap bajunya tadi. "Gabriel yang nyuruh Oma ambilin air minum, bukan kakak. Terus karena lantainya licin, kursi roda Oma tergelincir dan akhirnya Oma jatuh. Tap--tapi hiks, Gabriel gak berani mendekat dna nolongin Oma karena Gabriel takut. Maafin Gabriel Ma, Pa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...