Semuanya serasa baik-baik saja, walaupun hati tak bisa berbohong jika sedang terluka. Semoga aku bisa pulang dengan tenang, karena mereka sudah bahagia. - Michel Granata Adisty.
***
"Berarti kita adakan pertunangan ini lusa, bagaimana? Biar aku yang urus semuanya, setuju?"
Mereka saling menatap Gabriel dan Leon, menanti persetujuan darinya. Padahal, ini bukan keinginan mereka.
"Semuanya setuju, lakukan saja apa yang seharusnya dilakukan, Ta." Doni berargumen, membuat mereka menganggukinya.
Tia menatap Gabriel sejenak, memperhatikan wajah gadis itu yang sepertinya tertekan. Tak berselang lama, ia memperhatikan Leon. Dan anaknya tetap diam, dingin tanpa suara.
"Baiklah, kita akhiri makan malam ini. Jadi, besok kami akan ke sini ikut menyiapkannya." Doni langsung berdiri, diikuti oleh mereka semua, tak terkecuali Leon dan Gabriel.
Mereka saling menyalami, sembari bergurau ringan. Hingga Doni dan anak istrinya benar-benar sudah pulang dari rumah Hadinata, tentu dengan keputusan tersebut.
Di depan pintu, Gabriel masih tetap ling-lung bersama Risma yang memeluknya dari samping.
"Kamu kenapa Sayang? Harusnya seneng dong, mama tau kok kamu suka sama Leon. Iya, kan?" Risma terlihat sangat sumringah.
Gabriel menggeleng cepat, dan air matanya seketika menetes.
"Enggak Ma, ini sama aja Gabriel ngerebut kebahagiaan kakak. Leon gak cinta sama Gabriel, dia cintanya sama kak Grana, Ma." Gabriel sesenggukan, seraya melepaskan pelukan mamanya.
Nata datang dari gerbang, kaget melihat keadaan Gabriel yang menangis dan sedang emosi.
"Ada apa, ma?"
Risma memandang Gabriel.
"Buat apa kamu mikirin saudara kamu, dia itu gak baik. Dia itu malapetaka dalam keluarga kita Gabriel, dia hanya sumber masalah dari kecil!" Risma sudah ikut tersulut, karena geram dengan apa yang dikatakan Gabriel barusan.
Nata menarik lengan Gabriel, lalu mendekapnya erat.
"Gabriel, jangan pernah membangkang sama orang tuamu. Kami melakukan yang terbaik, turuti saja ini demi kebaikan kamu juga." Nata mengelus rambut anak terakhirnya ini dengan lembut, lalu meninggalkannya di depan pintu. Setelah itu, ia menggandeng Risma agar ikut masuk dan tidak melanjutkan perdebatan tersebut.
Udara dingin sangat menusuk tulang Gabriel, tetapi ia tak peduli. Ia menangis, merasa bersalah dengan Grana.
Niatnya, ia merelakan orang yang ia sayang dengan kakaknya demi meminta maaf. Tetapi, siapapun tak ada yang tahu kalau semuanya akan seperti ini.
"Maafin aku, kak."
***
Pukul 06.08 pagi
Gadis bertubuh mungil itu tidur meringkuk di lantai dekat ranjangnya, merasa terkena sinar matahari dari jendela, ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan, matanya terbuka dan ia baru sadar jika hari ini ia akan pergi ke sekolah.
"Astaghfirullah, gue harus sekolah." Grana menepuk jidatnya sendiri, ia mendudukkan tubuhnya.
Rasa pegal dan sakit-sakit menelusuri tulangnya, bayangkan semalam tidur seperti itu, sudah bisa dipastikan rasanya kayak apa.
"Huhf, pegel banget punggung gue. Lagian, ngapain gue tadi malem bisa ketiduran di sini sih?" Grana mulai memikirkan apa yang dialami semalam, tiba-tiba kepalanya mendadak pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Подростковая литература"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...