[36]

280 33 0
                                    

Terkadang, hidup itu terasa sangat rumit. Sampai-sampai ... kita tak tahu lagi, mau menyerah saja atau tetap berjuang. - Michel Granata Adisty.

***

Kedua keluarga itu sudah berkumpul menikmati hidangan makan malam bersama, sedangkan Grana tak ikut mereka. Karena cewek itu tak begitu berarti, malahan mungkin seperti tiada dalam keluarga Hadinata.

Sekali tadi Tia mencoba bertanya pada Risma, calon besannya. Di mana Grana, tetapi mama dari cewek itu bilang dia sudah makan. Jadinya Tia hanya diam, padahal dia khawatir terhadap anak itu.

Mereka kini sedang bersenda gurau, tetapi Leon masih sibuk mengamati layar ponselnya. Karena pesan buat Grana belum dijawab juga, membuatnya berpikiran negatif.

"Leon, kamu mengundang teman-temanmu?" Risma bertanya, cowok itu menoleh diam.

"Emm iya Ma, sebagian." Gabriel yang menjawabnya, karena ia tak mau Leon mengatakan jika ia tak ingin mengundang siapa-siapa.

Risma mengangguk, lalu Leon berpaling lagi walaupun Gabriel menatapnya.

Cewek berponi itu sedari tadi ingin menemui kakaknya, tetapi belum bisa izin karena takut mama sama papanya marah.

"Kamu kenapa Gab?" Doni yang melihat resah di wajah Gabriel kini bertanya, karena penasaran.

"Enggak Om," jawab Gabriel, ragu-ragu.

"Oh ya, Gabriel izin ke atas dulu ya ma, pa, om, tante, Leon." Gabriel sudah berdiri, ia benar-benar ingin menemui kakaknya. Pikirannya tidak tenang, karena ia merasa sangat bersalah.

Pasti, sekarang Grana sedang patah. Dan itu karena dirinya sendiri yang mematahkan kakaknya, entah yang ke berapa kalinya ia menyakiti hati Grana.

"Ngapain Sayang?" Risma bertanya.

Gabriel bingung mau menjawab apa, akhirnya ia berbohong.

"Itu ma, Gabriel lupa matiin kran kamar mandi. Iya, matiin kran kamar mandi ma." Risma mengangguk-angguk paham, lalu Gabriel segera pergi dari sana menuju lantai atas.

***

"Uhuk!"

Grana langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan, dan setelah ia buka ternyata ada darah segar yang menempel di sana.

Seketika, cewek itu menatap sendu darah di telapak tangannya. Perutnya terasa mual-mual, dan kepalanya ikut pusing. Ia belum makan, juga minum obat.

Cewek itu bangkit dari duduknya di balkon, lalu lari ke dalam kamar untuk mencari tisu. Sudah menemukannya, ia mencari ponsel sekarang. Segera mungkin menghidupkan WiFi-nya dan satu pesan masuk dari Leon, segera ia buka dengan perasaan kacau.

Anda
Kenapa enggak turun? Lo belum makan.

"Leon?"

Ia tak peduli, dengan keadaan tak baik-baik saja dirinya segera mencari kotak obat. Ia mengobrak-abrik isi tasnya, tetapi naas, tak ada obat di sana. Ia berlari ke deretan jaket yang ia pakai tadi, ternyata juga taj ada.

"Perasan tadi gue taruh di jaket deh, aduh!"

Ponselnya bergetar terdengar di telinganya, dengan berjalan sempoyongan ia meraih benda pipih itu dan mengangkat teleponnya.

'Lo belom tidur? Kenapa gak turun makan?'

"Gue gak apa-apa, udah ken--kenyang." Sebisa mungkin Grana mengendalikan suaranya agar terdengar santai, padahal pandangannya sudah mengabur.

Gludak!

Cewek itu tersungkur ke lantai samping ranjangnya, kakinya terasa sangat lemas. Dari mulutnya mengalir darah segar lagi, hidungnya juga mimisan. Kepalanya sangat berat, hingga membuatnya begitu tersiksa dengan keadaan ini.

Just Bad Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang