Hidup itu lucu, kadang dalam keadaan terluka pun bisa tertawa.
°Michel Granata Adisty.
***
Suasana hati gadis itu sedang tidak baik, ini yang dia benci kala di rumah. Dia terasingkan, anak kandung yang ditirikan. Bagaimana rasanya?
Sakit, kah?
Tidak. Bagi Grana itu sudah biasa, dia hanya bisa memendam semua luka itu sendirian. Karena sejauh ini, belum ada orang yang ia percaya untuk berbagi cerita.
"Enggak sopan, ada orang tua main lewat aja! Dasar anak gak tau sopan santun!" maki Risma---Mama Grana.
Seolah tak mendengar, gadis menggunakan jaket hitam itu tetap berjalan santai melewati ruang makan.
'Sabar, Grana! Lo udah terbiasa kok, Lo kuat!' ujar Grana dalam hati, sembari menelan ludahnya pelan.
Ya, dia tak pernah bergabung dengan orang tuanya apalagi saudara kembarnya.
Saudara kembar? Iya, dia memang mempunyai saudara kembar. Gabriel Chintya Adira. Nama yang bagus, bukan? Tentu, begitu pula orangnya.
"Mama! Jangan ngomong gitu sama kakak!" sela Gabriel, merasa bersalah pada kakaknya itu. Gabriel memang terlahir setelah Grana dilahirkan selang 5 menit, itu kata Risma waktu ia masih kecil.
Risma yang sibuk mengolesi roti tawar dengan selai nanas terhenti kala mendengar tutur Gabriel.
"Kenapa? Dia pantas diperlukan seperti itu, dia tidak layak dihalusi!" balas Risma memicing, seraya memberikan setangkup roti pada Hadinata---suaminya.
Alhasil, Gabriel hanya diam. Tak mau menjawab lagi, percuma dia membela kakaknya. Mamanya akan selalu mencari-cari kesalahan Grana, padahal ia tak mau dibedakan dengan kakaknya sendiri.
"Sudahlah, Papa antar kamu sekarang, Gabriel!" ujar Hadinata, setelah selesai makan dan meminum segelas susu putih hangat buatan Risma.
***
Motor besar berwarna merah padu hitam itu melaju dengan sangat kencang, karena yang menungganginya adalah Grana. Gadis tomboi itu, yang selalu terlihat menakutkan bagi banyak siswa.
Tak terasa, Grana sudah sampai di depan gerbang sekolah. Tepat pukul 7 kurang 5 menit. Dia belum terlambat, ia membawa masuk motor besarnya ke parkiran sekolah.
Sesampainya di sana, seperti biasa yang ia alami setiap pagi. Tatapan-tatapan dari siswa-siswi yang berada di sekeliling parkiran, tetapi tak ia hiraukan. Toh, mereka hanya sibuk mengurusi hidup orang lain, tanpa berpikir untuk mengurusi hidupnya sendiri sudah benar atau belum?
Grana berjalan sendirian menuju kelasnya, XII IPS 2. Kebanyakan dari semua murid menganggap anak IPS lebih nakal dan bodoh dari anak IPA? Benarkah?
Aku pikir tidak, itu hanya cara pikir yang salah. Mereka punya porsinya masing-masing. Kalau mereka nyaman di IPS, kenapa harus di IPA? Dan ... sebaliknya.
"Ck! Muak gue lihatnya," decak Grana. Mundur satu langkah, pemandangan di depannya sungguh membuat hatinya terasa nyeri.
Di sana, Gabriel dan Leon tengah berada di depan kelas. Tentunya, Leon apel pagi sama adik Grana. Mereka banyak diisukan sudah pacaran bahkan, sejak masih kelas XI. Dan, Grana muak mendengar berita itu.
"Tadi pagi, dianterin Papa?" tanya Leon datar, meskipun begitu tetapi terdengar lembut dan nyaman di telinga Gabriel.
Gadis berambut pendek itu tersenyum, lalu mengangguk.
"Iya, soalnya kamu gak jemput kan?" balasnya lembut, sesuai dengan sifat dan sikapnya pada semua orang.
Kring!
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...