Salah gak sih, kalau gue nyerah aja? - Michel Granata Adisty.
***
Mereka baru saja selesai makan siang, dan tentunya tanpa kehadiran Grana. Nata tadi yang menjemput Gabriel, sedangkan saudari kembarnya pergi entah kemana itu bukan lagi urusannya.
"Ma, papa mau ngomong. Sama kamu juga Gabriel," ujar Nata disaat Risma baru saja selesai meneguk segelas air putih.
Keempat mata saling menatap pria itu, menunggu apa yang akan dibicarakan olehnya.
"Gabriel, mama sama papa mau jodohin kamu."
Deg!
Ia harap ini becanda tetapi, rupanya saat ia menoleh ke Risma juga ikut mengangguk. Dijodohkan? Itu terlalu mengerikan baginya, lagipula ia masih SMA.
"Dijodohin, Pa?" Gabriel meninggikan suaranya, hampir menolak.
Nata mengangguk, disusul oleh Risma yang memegang erat telapak tangan Gabriel.
"Tenang Sayang, papa yakin pasti kamu akan setuju dengan perjodohan ini. Tidak mungkin kau menolaknya," jelas Nata dengan sangat enteng.
Gabriel menggeleng cepat. "Enggak pa, Gabriel masih SMA, masih pengen kuliah. Gabriel masih punya masa depan yang panjang, Gabriel gak mau sia-siain itu pa."
Tetapi, Nata justru tersenyum. Begitu pula dengan Risma, wanita itu tersenyum simpul padanya.
"Tidak Sayang, kamu masih bisa kuliah setelah tunangan. Dan mama yakin, cowok yang kami jodohkan denganmu adalah orang yang kamu sukai." Risma menenangkan.
"Ma ... Gabriel gak mau," lirihnya. "Aku gak mau ma, aku gak tau siapa pria itu. Bagaimana kalau dia sudah tua, atau jika dia duda?" Ekspektasi Gabriel diluar pikiran, itu yang ia takutkan.
Nata langsung bangun dari duduknya, tampaknya ia tak suka mendengar apa yang diucapkan oleh Gabriel barusan.
"Dengar Gabriel, sejak kecil kami merawatmu dengan penuh kasih sayang. Tak mungkin kami sejahat itu, menjodohkanmu dengan lelaki sembarangan." Gabriel menunduk sambil sesenggukan, dan Risma menenangkannya. "Apa kamu mau, kami cap sebagai anak tak tau terima kasih sama orang tua? Permintaan papa hanya ini, nanti malam keluarga mereka akan ke sini. Dapat papa pastikan, kamu tak akan menolaknya."
***
Dengan sisa-sisa air mata di pipi, gadis itu masih terus jongkok di tepi gundukan tanah. Hawanya sejuk dan berbeda, ia nyaman di sini. Bertaburan sudah bunga mawar di atas makam almarhumah neneknya, sejak pulang sekolah ia langsung ke sini.
"Nek, Grana kangen nenek." Suara isak tangisannya hampir tak terdengar, lirih dan dalam sekali. "Grana pengin nyusul nenek, tapi masih pengen hidup bareng kak Daren, nek."
Tangan kecil dan putih pucat itu meraba ke batu nisan warna hitam, sudah lama ia tak datang sekedar menjenguk neneknya yang sudah terlelap nyaman di alamnya.
"Andai aja nenek masih di sini sama Grana, pasti kita baik-baik aja kan nek? Kak Daren juga gak akan pergi sejauh itu ninggalin Grana, kayak sendirian sih tapi masih seneng bisa jenguk nenek di sini." Tak ada rasa takut meskipun ia sendiri di sini, di tengah tanah lapang yang bergunung-gunung.
"Grana pamit pulang yah nek, semoga nenek selalu bahagia di sana. Semoga cucu nenek ini kuat yah, gak sakit-sakitan mulu." Grana mengusap lembut batu nisan itu, dan berdirilah ia. Matanya terlihat sembab, hidungnya memerah.
Langkah demi langkah ia meninggalkan makam neneknya, seorang wanita yang selalu merawatnya dari balita hingga kepergiannya membuat kesalahpahaman ini terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Roman pour Adolescents"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...