Lagu untuk chapter ini : heartbeat - 2PM
"Dimana etikamu? Bertamu selarut ini ke rumah seorang gadis?" Dewa menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kedua pria dengan tubuh jangkung itu saling berhadapan, menimbulkan aura yang agak menegangkan di apartemen kecilku.
"Ada urusan yang harus kuselesaikan dengan Sandra." Ujar David yang langsung menerobos masuk begitu saja, menabrakkan bahunya pada Dewa dengan sengaja. Membuat yang ditabrak merasa tersinggung dan langsung menarik kasar lengannya.
"Apa kau nggak punya sopan santun?!" Sindir Dewa.
David lantas menoleh cepat pada Dewa, melempar tatapan tidak suka. "Apa kau cemburu? Ingat, kau punya wanita lainnya untuk diurus."
"Dewa, it's okay. Aku akan bicara dengannya." Aku harus mengintervensi pembicaraan mereka sebelum tempramen David naik dan situasi memburuk. Dua bulan mengenal David membuatku sedikit banyak hafal akan kebiasaan dan caranya menghadapi sesama pria yang membuatnya kesal : dengan otot, bukan dengan kepala dingin.
Dewa yang mendengar jawabanku lantas menunjukkan ekspresi sandra-kau-serius? Dengan kernyitan dahi dan satu alis terangkat.
"Aku tahu apa yang mau dia bicarakan." Kuberikan senyum pada Dewa, berusaha meyakinkan sahabatku itu bahwa semua akan baik-baik saja. Seburuk-buruknya, aku percaya David tidak akan menyakitiku secara fisik seperti Jason.
"Kau sebaiknya bertanggungjawab atas resiko dari taruhan yang kau buat." Dewa melempar tatapan tajam pada David, dan dengan gerakan cepat aku meraih tangan David yang mengepal kuat, siap melayangkan pukulan.
David menoleh padaku, dan aku menggelengkan kepala padanya. Sebuah isyarat untuk jangan membuat keributan."Kau bisa pulang. Aku akan baik-baik saja." Kataku sekali lagi meyakinkan Dewa. Sahabatku itu mendengus kesal, menatap tajam David sekali lagi dan langsung meninggalkan apartemenku.
David dengan sigap menutup pintu, lantas berpaling padaku."Kau tahu apa yang mau kusampaikan. Jadi aku nggak perlu mengatakannya lagi kan?" Katanya dengan sorot mata datar, tidak bisa ditebak.
"Inikah caramu meminta maaf?" Sindirku.
David tidak menjawab. Dia justru membuang muka.
"Kau tahu? Meskipun sama-sama menyakitkan, aku berharap pengakuan itu keluar dari mulutmu sendiri dan bukan dari Jason. Aku akan sangat menghargai jika kau jujur. Tapi nyatanya, kau justru menghindar. Aku menunggumu.... aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku sangat ingin memukulmu dengan tanganku sendiri tapi—“
Sialnya, aku mengucapkan semua itu dengan bibir bergetar dan kedua tangan mengepal di samping tubuh.
Apa kalian pernah merasa ingin marah pada seseorang, namun begitu kalian menatapnya langsung, rasa marah itu justru hilang dan malah menyebabkan rasa sakit dalam diri kalian sendiri?Itu yang kurasakan.
"Aku tadinya ingin memberitahumu." sahutnya.
"Lantas kenapa kau mengurungkan niat?"
"Karena aku nggak menemukan waktu dan cara yang tepat! Aku berusaha menjauhkanmu dari Jason agar aku nggak perlu memberitahumu soal taruhan itu, tapi kau justru membiarkan diri jatuh di lubang yang sama! Kau bahkan kembali pada pria itu dan memberinya kesempatan lagi!" David meninggikan suara. Kenapa pria ini terus membela diri padahal sudah jelas dia melakukan kesalahan?!
Aku tertawa miris mendengar responnya, "Jadi itu semua salahku?"
Dan... Dia hanya diam. Lagi-lagi membuang muka, menghindari kontak mata."Jika kau pikir Jason nggak layak mendapat kesempatan lagi, bagaimana denganmu? Apa kau layak mendapatkannya setelah apa yang kau lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...