too good at goodbye

38 15 39
                                    

Lagu untuk chapter ini : Too Good at Goodbye - Sam Smith

SANDRA'S POV

Acara pernikahan telah usai dan aku telah kembali ke kota perantauan. Kembali pada hari-hari kuliahku bersama Dewa yang sebentar lagi akan melamar Audrey, kekasihnya. Menjalani hubungan dengan perempuan yang lebih tua memang harus siap menerima tuntutan untuk segera menikah.

Apapun itu, aku akan tetap mendukungnya. Dia sangat bersemangat menceritakannya, sehingga aku mengurungkan niat menceritakan kejadian di Bali pada Dewa. Aku nggak ingin merusak kisah bahagianya dengan sebuah kejadian nggak menyenangkan.

Setelah aku datang ke kamar David pagi itu, dia lebih banyak diam. Sejujurnya, aku merasa khawatir, terutama setelah pertemuannya dengan sang ayah dan kabar bahwa ayahnya ingin membawa dia kembali ke Inggris.

Aku terpaksa menghadiri undangan makan malam keluarga dari Pak Hadi dan Tante Hana sendirian tanpanya padahal tentu saja, kehadiran Davidlah yang lebih mereka harapkan malam itu, setelah resepsi. David meninggalkan Bali lebih cepat dari yang seharusnya. Seusai makan malam, aku mencoba mengunjunginya di kamarnya, namun pria itu sudah nggak ada di sana.

Aku meneleponnya berulangkali, namun panggilanku terus dialihkan. Pesan yang kukirim nggak mendapat balasan satupun. Setelahnya, aku nggak mendapat kabar sama sekali darinya.

Dan sekarang, genap satu minggu sejak hari itu.

Terakhir kali aku melihatnya di kampus tiga hari lalu mengenakan slempang hitam bertuliskan "soon to be graduate" bersama Reagan dan beberapa mahasiswa lain yang nggak kukenal.

Rupanya dia sudah menyelesaikan sidangnya. Aku turut senang. Ingin rasanya memberi sebuah hadiah untuknya, tapi takdir seperti nggak mengizinkanku melakukannya. Sehari setelah aku melihatnya di kampus,  aku datang ke rumah Pak Hadi dan dia bilang kalau David sama sekali nggak memberi kabar dan nggak kembali ke rumahnya. Entah kemana pria itu pergi.

Hanya ada dua kemungkinan. Dia menemukan apartemen baru untuk ditinggalinya sendirian, atau  kembali ke Inggris.

Jadi... Apa dia akan melewatkan wisudanya?

Hati kecilku sedikit berharap bahwa bukan pilihan kedua yang diambilnya. Tapi siapa aku?

Di minggu yang sama, aku terus menerima serbuan panggilan dari Jason. Dia belum menyerah untuk mempertahankan hubungan kami yang sebenarnya, sudah nggak layak untuk diperjuangkan. Dia datang ke rumahku, mengetuk pintu apartemenku setiap hari namun aku mengabaikannya. Jason bahkan sampai menarik perhatian tetanggaku dan mereka memaksaku menemuinya untuk menyelesaikan masalah.

Dan hari ini, aku memutuskan untuk menemuinya sepulang mengajar di sekolah milik Pak Hadi. Jason menunggu di depan pintu apartemenku, duduk bersandar di pintu dengan kaki lurus ke depan, sibuk dengan ponselnya yang terus menghubungiku dan nggak berhenti membuatnya bergetar di sepanjang perjalanan pulang. Ditengah kebingunganku akan keberadaan David dan kacaunya pikiranku akan hubungan kami, disinilah aku dan Jason sekarang. Duduk satu meja di sebuah kafe sederhana dengan cahaya remang malam hari, ditemani hujan deras yang mengguyur kota.

"Aku ingin kita membicarakan soal hubungan kita" ujarnya sembari menyesap minuman jahe yang dipesannya.

Aku menghela nafas, diam beberapa saat, memikirkan jawab apa yang harus kuberi pada mantan kekasihku itu.

"Hubungan kita sudah berakhir. Nggak ada yang perlu dibicarakan."

"Jelas ada. Buktinya kau bersedia duduk di sini bersamaku." jawabnya mantap. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Aura tenang dan wajah-wajah orang yang mengobrol santai di kafe ini seolah nggak menyadari, ada ketegangan yang sedang terjadi di antara dua orang muda.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang