Lagu untuk chapter ini : i'm letting go - Flawes
Ada banyak suara malam itu, hiruk pikuk orang yang berbicara satu sama lain, tertawa, dan tentu saja, suaraku sendiri yang melantunkan sebuah lagu. Ada banyak wajah yang nampak dalam penglihatan, namun satu suara dan satu wajah dari orang yang sama mampu mengalihkan perhatianku. She was smiling at him, they talked too much, showing lots of affection. Anger filled my feeling, lots of swear and curse words were about to jump out of my mouth. What the hell was that? She's fucking stupid.
***
DAVID'S POV
"David!"
Suara itu terus mengikutiku di sepanjang lorong gedung kampus, sampai ke depan ruang dosen. Aku menoleh ke arahnya sebelum memasuki ruang dosen karena dia terus memanggilku.
Dengan nafas memburu karena berlari, gadis itu mulai berbicara "Aku... Memanggilmu! Kenapa kau... Mengabaikanku? Aku kan.. hanya ingin... Memberikan... Ini." Katanya sambil mengeluarkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru. Ah, pasti buku yang kemarin dia tunjukkan padaku.
"Aku sudah tidak membutuhkannya" Jawabku kasar. Gadis itu lantas mengernyitkan dahi.
"Kau bilang akan menerimanya karena aku sudah membelinya."
"Aku berubah pikiran. Aku nggak membutuhkan buku seperti itu. Berikan saja pada mantan kekasihmu itu."
Sandra lantas maju satu langkah, mendekat ke arahku, dan aku mundur satu langkah menjauhinya. "Kenapa tiba-tiba bicara soal Jason? Aku membeli buku ini untukmu. Saat kau merasa harimu buruk, kau bisa menuliskannya di-"
"Sudah kubilang aku nggak membutuhkan sampah seperti itu!"
Gadis itu tersentak mundur. ekspresi wajahnya seketika berubah.
"Apa kau marah padaku?" Dia bertanya dengan polosnya. Aku memutar bola mata malas.
"Ya. Aku marah padamu karena kau benar-benar bodoh."
"Apa maksud-"
BRAK!
Aku menutup pintu ruang dosen dengan kasar, memutus kalimat gadia itu sebelum dia menyelesaikannya. Sontak, dosen-dosen dan mahasiswa yang ada di dalam pun menoleh ke arahku. Aku mendengus kesal, mengabaikan tatapan heran yang mereka berikan padaku, bahkan sindiran seorang dosen wanita yang berkata 'sepertinya ada yang masuk ke ruang dosen dengan membawa masalah pribadi.' dan langsunh menuju meja dosen pembimbingku, Profesor Jusuf.
"Hi, Scott. Kau semakin rajin bimbingan. Duduklah." Katanya sambil memasang kacamatanya dan menyambutku dengan senyum. Pria setengah botak itu nampak nggak terganggu sama sekali dengan emosiku ketika memasuki ruang dosen.
"Kita langsung mulai saja." Sahutku sambil menarik kursi dan duduk.
***
Aku melihat Sandra sedang duduk sendirian di galeri sambil menikmati sebotol minuman dan memandangi benda persegi panjang itu. Ya, hadiah yang dimaksudkannya untukku.
Aku mendengus, kesal pada diriku sendiri yang justru merasa iba pada gadis itu dan membutuskan untuk menghampirinya. Tanpa kata, aku duduk di seberangnya dan mengambil hadiah itu, lalu memasukkannya ke dalam ranselku. Gadis itu terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...