Lagu untuk chapter ini : Hideous - Mehro
Suasana canggung begitu terasa di apartemenku pagi ini. Baik aku maupun David sama-sama saling menghindari kontak mata. Dia nggak mengajakku bicara, bahkan niat untuk menjelaskan kejadian semalam saja sepertinya dia nggak punya. David being David. Careless and cold.
Sepertinya memang kejadian semalam hanyalah angin lalu. Atau hanya sebuah aksi yang dilakukan dengan dorongan emosi dan kekalutan hati.
Ketika aku bangun, secangkir teh dan roti panggang telah siap di atas meja. Cukup mengejutkan mengetahui bahwa dia sengaja menyiapkan ini untukku. Entah sejak kapan dia bangun.
Aku beranjak dari tempat tidurku, mencari keberadaan pria berambut hitam kecoklatan dengan torso panjang dan mata biru keabuan itu. Segera, mataku menangkap sosoknya yang sedang duduk sendirian di balkon, mengenakan jaket hoodie dan celana jogger pants warna navy. Pria itu termenung menikmati udara pagi yang dingin akibat hujan turun semalaman. Menyantap roti panggang buatannya sendiri.
Aku mengambil satu roti panggang dan meminum teh buatannya dalam ruangan. Enggan untuk keluar dan memulai percakapan lebih dulu. Sebenarnya nggak masalah, namun mengingat apa yang kami lakukan semalam, kurasa David berhutang penjelasan padaku, dan seharusnya dialah yang memulai pembicaraan. Wanita memang begitu, bukan?
David sempat menoleh ke dalam, melihatku memakan roti yang dia buat, dan langsung memalingkan wajahnya lagi tanpa sepatah katapun.
Aku mendengus, lantas menertawakan diri sendiri yang berharap dia akan masuk dan bicara denganku. Akhirnya, kuputuskan untuk bersikap acuh dan sesantai mungkin, seolah kejadian semalam nggak memberi dampak apapun padaku. Kulakukan rutinitas pagi seperti biasanya. Memasak, membersihkan apartemen, dan bersiap untuk kuliah.
"Astaga!"
Aku terkejut begitu membuka pintu kamar mandi dan melihat David berdiri di depan dengan wajah datar dan mata sembab.
"Kau ingin memakai toilet?" tanyaku. Akhirnya, justru aku yang memulai percakapan.
David hanya mengangguk tanpa menjawab, kemudian melangkahkan kakinya melewatiku ketika tiba-tiba, sebuah suara ketukan pintu menghentikan langkahnya. Kami berdua spontan menoleh ke arah sumber suara.
"Sandra! Buka pintunya!" seru orang yang berada di balik pintu dengan nada nggak sabar, mengetuk dengan keras. Seketika aku panik,mengalihkan pandanganku pada David yang berdiri di depan pintu kamar mandi, menyiratkan tatapan mau-apa-dia-disini?
David mendengus, kemudian dengan santai menjawab, "selesaikan urusanmu. I won't make any noise." Lalu pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya.
"Sandra! Kau di dalam?" Seru pria di balik pintu kembali memanggilku.
Baiklah. Kau harus siap Sandra. Bersikaplah tenang, hadapi dia.
Aku berjalan menuju pintu, menarik nafas panjang, menghembuskannya pelan sebelum membuka pintu dan melihat wajah marah Jason. Kedua alis tebalnya saling bertautan, membentuk kerutan di dahinya. Bibirnya membentuk garis lurus tanda kesal.
"Aku baru saja mandi. Maaf kau harus menunggu. Ada apa kau ke sini?" kataku, berusaha sesantai mungkin.
"Menurutmu kenapa aku ke sini?" jawabnya sinis. Aku mengangkat bahu, berpura-pura nggak peduli, kemudian memutar tubuh dan melepaskan handuk yang membungkus rambut panjangku.
"Kau pikir siapa aku sampai kau menanggapiku dengan cara seperti itu?!" tanya Jason. Dia jelas tersinggung dengan sikapku. Aku menghentikan langkah tanpa berpaling, menunggunya untuk bicara sambil meremas erat handukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...