Lagu untuk chapter ini : Bend The Rules - Niall Horan.
Aku pulang meninggalkan Deli Stop dengan perasaan kacau. Dua jam di tempat itu sangat menyiksaku.
Obrolan singkat bersama Lucia yang berujung pada drama tangisan yang kubuat, berakhir dengan momen canggung karena Mason, tunangan Lucia datang ke kedai yang sama. Mereka memang berencana mengunjungi kedai itu. Singkatnya, aku mendapat sebuah jackpot karena mengunjungi Deli Stop di hari yang sama dengan Lucia dan Mason.
Kami akhirnya makan bersama di satu meja. Aku bahkan harus nenyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, gadis yang pernah kucintai kini duduk di sebelah pria yang akan dinikahinya. Pria itu beberapa kali mengelus puncak kepala Lucia, saling menatap, dan tertawa bersama.
Lucia bersikap seolah nggak terjadi apapun saat Mason datang. She hide it perfectly like we never had a serious conversation. Namun tetap saja, dia berhutang penjelasan pada pria itu karena Mason beberapa kali menatapku dengan penuh tanya.
Wajar saja, pria mana yang nggak curiga tunangannya ada satu meja bersama pria lain yang sedang menangis?
Lucia hanya mengenalkanku sebagai 'teman lama' pada tunangannya itu. But thank God Mason has a nice attitude so he didn't make any drama with yelling to her fiance and asked "who the hell is this guy?!"
He seems really trust her. Or maybe he already heard about me from Lucia.
I don't know. Who cares? It hurts anyway...
Kejutan nggak berhenti sampai di situ.
Ayah dan Marry sedang beradu argumen ketika aku hendak membuka pintu rumah. Aku bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka yang sama-sama menggunakan nada tinggi.
God damned it! Sepertinya kejadian di Deli Stop belum cukup mengguncangku, sehingga aku masih harus menyaksikan ayah bertengkar dengan kekasihnya sendiri.
Aku hendak menerobos masuk, namun tanganku refleks membatalkan gerakannya untuk membuka gagang pintu ketika mendengar Marry mengatakan sesuatu yang -sepertinya- berhubungan denganku.
"For his sake, Hume, you must tell him the truth!"
"Why do i have to tell him? Are you fucking trying to make him hate me more? I was thinking to tell that boy but hell, Marry, it isn't important anymore. He already hates me and Hana so why do i have to tell him?!"
"You can't keep that secret forever. He have the rights to know!"
"Hell, no! David would never meet her. She's gone! It wouldn't make any sense, so stop talking about this. I'm done with this shit conversation!"
Kudengar suara gebrakan meja dan langkah kaki yang mendekat ke arah pintu. Aku bergegas lari ke bagian samping rumah untuk bersembunyi, mengintip apa yang selanjutnya terjadi.
Benar saja, nggak lama kemudian, ayah terlihat keluar menggunakan coat panjang sambil menghisap rokok, hendak meninggalkan rumah. Marry mengikutinya dan menahan lengan ayah namun pria itu menepisnya segera.
"Kau harus memenangkan hatinya jika kau menginginkan hak asuh atas David. Kau seorang ayah. Kau punya kewajiban memperbaiki hubungan yang rusak di antara kalian." Kalimat Marry sontak membuatku tercekat. Kenapa wanita itu begitu giat mempengaruhi ayah untuk merebutku kembali?
"Hume, dengar. Sekalipun hukum bisa memenangkanmu dari Hana karena kau punya alasan yang lebih kuat, tapi kau tetap harus memenangkan hati anak itu." lanjutnya.
Ayah mengerang kesal, menoleh cepat pada kekasihnya itu dengan jari telunjuk yang teracung.
"Kau yang menginginkannya. Bukan aku. Jika kau ingin seorang anak, kita bisa menikah dan mendapatkannya. Tapi David, anak itu sudah terlanjur rusak. Sudah terlambat memperbaiki anak sepertinya. Ibunya sendiri bahkan nggak pernah menginginkannya! Marry, aku nggak ingin mengacaukan pikiran anak itu dengan kisah lama yang sudah terkubur!" Ayah kemudian memalingkah wajahnya kembali, lalu memutar tubuh berjalan menjauhi Marry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...