i'm sorry

50 15 26
                                    

lagu untuk chapter ini : The Scientist - Coldplay

Seorang pria tinggi bermata hijau dengan rambut tipis di wajahnya membuka pintu untukku. Aku sedikit terkejut dan refleks membuang muka ketika pria di hadapanku itu membuka pintu dengan kondisi telanjang dada dan hanya mengenakan boxer.

"Santai saja, kenapa harus terkejut seperti itu? Kau bukan anak dibawah umur kan?" Sindirnya.

"masuklah. David ada di kamarku. Pintu dengan poster Avril Lavigne" Kata pria itu yang segera memutar tubuhnya dan berjalan masuk. Akupun mengikutinya, mencari pintu dengan poster penyanyi rock terkenal pada zamannya itu.

Aku menghela nafas sejenak sebelum membuka pintu. Membayangkan akan seperti apa reaksi David ketika melihatku disini.

Hanya ada satu kemungkinan. Dia akan marah padaku. Mengingat kejadian di rumah Pak Hadi semalam, aku yakin David juga nggak akan senang melihatku disini.

"Dia benar-benar mabuk semalam. Bawakan ini untuknya. in case he wake up with hangover" Kata pria itu sambil memberikan gelas berisi air kelapa muda untukku. Aku megangguk. Pria itu berbalik, namun aku menghentikannya.

"Siapa namamu?" Tanyaku.

"Reagan." Jawabnya datar, dan langsung berjalan menuju kamar mandi.

Aku membuka pintu perlahan, masuk dengan hati-hati, dan disambut dengan tatapan tajam David yang sedang duduk diatas ranjang dengan mata merah dan wajah yang terlihat lelah. Dia bahkan masih mengenakan jaket jeansnya. Seketika aku melangkah mundur. Tahu bahwa dia nggak suka melihatku disini.

"i'm sorry" gumamku. "Aku hanya bermaksud membawakanmu minuman ini dan-"

"Letakkan saja." Jawabnya sambil membuang muka dariku. Aku mengangguk, menurutinya dan meletakkan minuman itu di atas meja.

"Mau apa kau kesini?" Tanya David.

"Aku hanya mengkhawatirkanmu. Kau mabuk berat semalam. Kau bahkan meneleponku dan meracau." Mata David melebar mendengar pernyataanku.

"What did i say?" Tanyanya.

"You said you are tired. And-"

"Anggap saja aku nggak pernah mengatakannya." Potongnya.

Aku diam, menatapnya penuh arti, mengingat semua yang dikatakannya padaku semalam. Apa itu benar?

"Apa?!" David membentak ketika dia menyadari aku sedang menatapnya.

"Nggak. Nggak ada apa-apa. Kau nggak perlu khawatir. Kau bisa jujur padaku kapanpun kau mau."

"It's just a word from a drunk guy Sandra! Don't take it too much."

"But i know you mean it. That's what you feel, don't you? Aku pernah mendengar orang yang mabuk biasanya akan bicara jujur."

David menggigit bibir, tetap enggan untuk menatapku. "No."

Aku berusaha tersenyum meskipun sebenarnya perasaanku sedikit nggak nyaman mendengar jawabannya.  Pria ini benar-benar sulit ditebak. Aku memutuskan untuk duduk di ujung ranjang. David refleks langsung membuat jarak dariku, enggan berada lebih dekat. "Fine. Setidaknya katakan kalau kau memaafkanku. Aku nggak bisa tenang jika belum mendengarnya darimu."

"Aku sudah memaafkanmu. Aku bahkan selalu memikirkanmu meskipun aku nggak mau." Jawabnya.

Aku diam, menatapnya lekat, mencoba memahami arti dari ekspresi wajahnya. Sungguh, wajah dengan mata biru keabuan itu menyimpan banyak rasa dan rahasia.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang