Lagu untuk chapter ini : apologize - One Republic
"Ambil saja kembaliannya." kataku sambil menyerahkan sejumlah uang pada pengemudi taksi.
"Ambil saja? Uang yang kau berikan sangat kurang anak muda!" protesnya.
"Ck," aku merogoh kembali saku jaketku untuk mengambil sisa uang dan memberikannya pada pengemudi taksi yang kutumpangi. "Sudah. Ambil saja. Aku terlalu mabuk untuk menghitung uang." Kataku sambil membuka pintu dan melambaikan tangan pada pria pengemudi taksi itu. Samar-samar kulihat ekspresi wajahnya yang terlihat kesal. Aku hanya terkekeh, dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah ayah. And he's sitting there, with Marry. Waiting for me, i guess.
"David, kau dari mana?" tanya Marry yang langsung mengikuti langkahku.
Aku hanya melirik sekilas pada mereka tanpa menjawab, dan meneruskan langkah menuju kamar. Kurebahkan diri tanpa ambil pusing melepaskan jaket dan sepatuku. Aku sudah cukup pusing dan merasa ingin muntah karena vodka dan pengemudi taksi yang berjalan dengan kecepatan tinggi, ingin segera bebas dari seorang pemuda mabuk yang terus mengajaknya bicara.Sebenarnya, pria pengemudi taksi itu baru saja menyelematkanku.
Pikiran kacau dan perasaan kalut membuatku bertindak ngawur. Setelah puas menikmati vodka dan musik bar yang memekakkan telinga, aku meninggalkan bar, berjalan gontai tanpa arah. Entah pukul berapa saat itu, tapi aku cukup yakin sudah larut malam. Jalanan kota Welwyn nampak sepi.
Hal terakhir yang kuingat hanyalah segerombolan berandal jalan menodongkan pisau padaku, dan aku nggak melawan. Apa yang bisa kulakukan? Aku mabuk berat! Bahkan mengangkat kepala sendiri saja rasanya sangat berat. Kubiarkan mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Merampokku, melenyapkanku? Itu malah lebih baik untukku.
Namun tiba-tiba aku mendengar suara sirine mobil polisi dan seorang pria-yang adalah pengemudi taksi itu-menarikku masuk ke dalam taksinya, sementara polisi mengejar para berandal yang berhasil mendapatkan ponselku. Ah, sudahlah. Toh ponsel itu sudah retak karena berulang kali menjadi sasaran amarahku.
Pengemudi taksi itu adalah saksi mata yang merespon cepat dengan memanggil polisi. Lagi-lagi, takdir masih menyuruhku bertahan hidup.
Aku mendengar suara Marry mengetuk pintu kamarku beberapa kali, namun kuabaikan wanita itu dan memutuskan untuk mengistirahatkan diriku.
****
Hari ke sebelas di Welwyn,
Aku bergegas mengemasi barang-barangku begitu aku membuka mata, mengabaikan rasa pening yang masih bergelayut di kepala. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah, meninggalkan Welwyn dan Inggris secepatnya.
Penyesalan memang selalu datang belakangan, dan itu yang kurasakan. Aku menyesal kembali ke sini. Namun aku nggak menyesali tindakan untuk ambil resiko demi mencari kebenaran soal keberadaanku.
Seusai mengemasi barang, aku menghampiri Marry yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk meminjam ponselnya. Wanita itu nggak banyak bertanya dan langsung meminjamkan ponselnya padaku.
"Bisa antarkan aku ke suatu tempat?" tanyaku sambil memberikan ponselnya setelah beberapa menit sibuk mencari tiket pesawat ke Indonesia.
"Kemana?"
"Rumah teman... Lalu ke bandara sore harinya. Jadi kau masih punya waktu untuk bekerja."
"Kau akan pergi?" Wanita itu mengernyitkan dahi seketika.
"Aku nggak ingin berdebat denganmu. Marry, kumohon. Lakukan saja permintaanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...