nightmare

44 11 29
                                    

Lagu untuk chapter ini : rollercoaster - Gabriel Conte

It was a nightmare... And since then, that nightmare keep haunting me every single day.

****

"David, bangun!" Seorang wanita menepuk pundakku. Wajahnya terlihat khawatir sekaligus heran melihatku yang tidur dengan penuh keringat di tengah musim dingin sambil membolak balikkan posisi tubuhku.

"Sandra?"

"Sandra? No, darling. It's me, Marry."

Aku mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya sepenuhnya sadar bahwa wanita yang membangunkanku adalah Marry, bukan Sandra.

"Jam berapa ini?" aku mengusap wajahku, mengedarkan pandangan untuk mencari benda penunjuk waktu itu.

"Jam satu siang." jawab Marry. Aku lantas mengernyitkan dahi. Jam satu siang? Aku nggak pernah tidur selama ini sebelumnya.

"Kau, kenapa disini? Bukankah seharusnya kau bekerja?"

Wanita itu menghela nafas sejenak, meraih secangkir teh yang diletakkannya di atas nakas, tepat di samping semangkuk makanan dan memberikannya padaku.

"Aku meliburkan diri. Aku mulai khawatir melihat keadaanmu."

"I'm fine. " jawabku santai

"No, you're not. Kau terus bermimpi buruk beberapa hari ini, hanya makan satu kali sehari, dan banyak menghabiskan waktumu di luar rumah. Lihat wajahmu, anak muda. Kau jelas sedang nggak baik-baik saja."

Aku meneguk teh yang diberikan Marry, kemudian beranjak dari tempat tidur. Keringat dingin memang membasahi sekujur tubuhku hingga membuatku risih. "Aku baik-baik saja."

"Do you want to talk about it?" tanya Marry.

"No." Jawabku singkat dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


Aku membiarkan aliran air hangat dari shower merilekskan otot-otot tubuhku yang tegang. Beberapa hari ini aku memang terus dihantui mimpi buruk soal ayah, tapi pria itu sama sekali nggak peduli. Dia hanya menyuruhku berobat ke psikiater tanpa memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan, dan berapa lama aku harus menjalani terapi. Dia bahkan mungkin nggak menyadari, dirinyalah penyebab mimpi buruk itu terus menghantuiku.

Hampir setiap malam, Marry selalu menerobos masuk ke dalam kamarku saat mendengarku tiba-tiba berteriak.  Wanita itu memperlakukanku dengan sangat baik, seperti anaknya sendiri. Dia bahkan terus mencoba bicara denganku tapi tentu saja, aku menutup diri darinya.

Ini adalah hari keenamku di Welwyn dan hingga saat ini aku belum mendapat panggilan wawancara. Demi tuhan, aku berharap bisa segera hengkang dari rumah ini tapi apa yang bisa ku lakukan jika pekerjaan saja aku nggak punya dan tabunganku semakin menipis ?

It was a very stressful six days in my life. Melihat ayahku yang hampir setiap malam bermain taruhan,Marry yang hanya diam saja melihatnya dan masih memperlakukan ayah dengan baik. Aku bahkan memergoki wanita itu mabuk sendirian saat ayah sedang bermain bersama temannya. I'm pretty sure she feels bad about it but she can't do anything. My father is too stubborn to listen to an advice.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang