Lagu untuk chapter ini : nothing like us - justin bieber
DAVID'S POV
Aku memarkirkan mobil di sebuah supermarket dan berjalan pelan ke dalam, mencari minuman dan obat sakit kepala yang bisa kutemukan disini. Kepalaku terasa seperti dipukuli menggunakan palu di kedua sisinya. Liquor yang kuminum semalam membuatku K.O.
Yah, memang sebenarnya tubuhku nggak begitu kuat terhadap alkohol, tapi hanya itu satu-satunya cara nengobati lukaku. Jadi apapun resikonya, kurasa aku nggak akan berhenti minum.
Setelah mendapatkan kemasan minuman air kelapa muda dan obat sakit kepala, aku berjalan ke kasir dan memberikan sejumlah uang padanya. Kasir yang adalah seorang wanita itu menatapku dengan khawatir, seolah menyadari kalau ada sesuatu yang salah denganku.
"Cepatlah, aku harus segera pergi." Pintaku padanya yang selama beberapa detik hanya menatapku tanpa melakukan apapun. Gadis itu terbuyar dari lamunannya dan melayani transaksiku. Detik berikutnya, aku berjalan kembali ke dalam mobil, meneguk obat dan minuman itu dengan kasar. Aku bernafas lega, memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatanku untuk mengemudi ke hotel yang sudah disewa Hadi untuk para undangan.
Entahlah, mungkin selama sepuluh menit, aku hanya diam di mobil, memegangi kemudi dan menyandarkan kepalaku padanya. Aku menunggu hingga obat itu bereaksi, setidaknya meringankan sedikit sakit kepala yang kurasakan.
Drrrt drrrttt
Ponselku bergetar dari kursi penumpang di sebelah kiriku. Kulirik sekilas pada layarnya yang menampilkan nama Sandra lalu membuka pesannya.
*Kau dimana? Beritahu aku kalau kau butuh sesuatu. Aku akan segera kesana. Balas pesanku kalau kau baik-baik saja.*
Aku hanya mengirimkan emoticon jempol padanya sebagai balasan. Di samping karena sakit kepala, aku pun enggan mengetikkan pesan yang terlalu panjang untuknya dan membuatnya berharap lebih.
Aku tahu Sandra mencoba memancingku di pesawat hanya untuk memastikan apakah aku ingat akan kejadian semalam di rumah ibuku.
Ya. Aku ingat bahwa kami sudah berciuman meskipun aku nggak bisa mengingat detilnya.
Pipi gadis itu memerah saat menanyakannya, dan aku mencoba sebisa mungkin menunjukkan reaksi netral seolah aku nggak mengingatnya.
Sungguh bodoh apa yang kulakukan. Aku sadar betul, ciuman itu adalah kesalahan. Aku nggak memiliki perasaan apapun padanya, bukan begitu?
Aku hanya terbawa suasana! Dan entah bagaimana saat itu aku kehilangan kontrol atas akal sehatku dan menciumnya. Lately i've been feeling crazy. there's so many things happened and i need something to relaxed my mind.
Aku masih ingat betul bagaimana rasanya mencium gadis itu. Bibirnya begitu hangat dan responnya begitu lembut. Gadis itu nggak melawanku, entah kenapa. Meskipun dia bisa mendorong dan menamparku, dia nggak melakukannya.
Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis ingatan soal kejadian itu. Aku nggak ingin mengingatnya, sumpah aku ingin melupakannya. Ciuman itu adalah kesalahan dan perbuatan paling bodoh yang pernah kulakukan selama dua puluh tiga tahun hidupku. Itu pertama kalinya aku berinisiatif menyentuh seorang wanita meskipun saat itu keadaanku nggak seratus persen sadar.
"What the fuck!" Aku memukul kemudi dengan kasar, marah pada diri sendiri karena begitu sulit menepis ingatan itu. Rasa merinding di tubuhku saat kami berciuman masih terekam dengan jelas.
Akupun menyalakan mesin mobil dan mengemudi dengan cepat menuju hotel, mengabaikan rasa sakit yang masih menggelayut di kepalaku. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah aku harus segera tiba di hotel dan beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...