rasa bersalah

46 9 28
                                    

Lagu untuk chapter ini : Lightning - Mehro

DAVID'S POV

"Shit!" Aku mengarahkan pukulan pada pintu apartemen Sandra, membalikkan tubuh untuk bersandar, meremas rambutku dengan kasar. Kenapa taruhan itu harus diungkap dengan cara seperti ini? Baru saja aku berniat memperbaiki hubunganku dengan gadis itu, tapi niat itu harus urung karena mulut bar-bar Jason.

Aku seharusnya memberitahu Sandra lebih awal! Bodoh!

Seharusnya aku belajar dari pengalaman keluargaku. Bahwa rahasia yang disimpan terlalu lama hanya akan menjadi bom waktu.

Sandra sepertinya mempercayai pernyataan Jason, tapi dia berusaha untuk terlihat kuat seolah nggak percaya. Aku bisa melihat dari sorot matanya, dia berusaha membantah kebenaran itu.

Kini setelah Sandra tahu, apa aku masih pantas tinggal di sini? Aku adalah pria nggak tahu malu jika tetap di sini setelah apa yang terjadi. Terutama setelah kejadian semalam, dimana kami kembali ber-

Ah sudahlah. Aku nggak ingin memikirkannya.

Aku benar-benar terbawa emosi kala itu, sehingga pikiranku nggak bisa bekerja dengan benar sampai akhirnya hal itu terjadi.

Setelah membersihkan diri, kuputuskan mengemasi barang-barangku dan meninggalkan apartemen Sandra. Pertama, aku pergi ke ATM terdekat untuk memeriksa berapa sisa uang yang kupunya. Dan ternyata, jumlahnya cukup membuatku meringis melihat angka yang terpampang di layar biru mesin penyimpan uang itu.

Baiklah, David. Sepertinya kau nggak punya banyak pilihan.

****

"Tentu saja aku akan menerimamu kembali, David! Kau penyanyi terbaik yang dimiliki Ride or Die! Keberadaanmu membuat kafe ini menjadi lebih ramai. Aku yakin pemilik kafe ini juga akan senang kau kembali. kau seperti magnet yang menarik banyak pengunjung." Samuel menepuk pundakku keras. Dia terlalu bersemangat melihatku tiba-tiba muncul setelah menyerahkan surat pengunduran diri.

Aku tahu, aku seperti orang yang tebal muka datang kembali setelah mengundurkan diri, dengan sebuah keyakinan bodoh bahwa aku bisa memulai hidup baru di Inggris. Nyatanya sekarang, aku di sini memohon untuk kesempatan kedua. Beruntung reputasiku cukup baik.

"Thanks, Sam. Entah harus bagaimana aku tanpamu."

"Ayolah, kapan lagi bisa menemukan orang bakat sepertimu?" jawabnya.

Samuel diam, mengedarkan pandangan pada seluruh ruangan kafe yang masih sepi di pagi hari. Pria itu kemudian merapikan kerah blazernya, dan berdeham sebelum akhirnya kembali mengangkat suara.

"Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu berubah pikiran?"

"Aku butuh uang untuk membeli ponsel baru." jawabku jujur, tanpa basa-basi.

"Memang ada apa dengan ponselmu yang sebelumnya?"

"Aku dirampok oleh berandalan sewaktu di Inggris."

"Oh, sayang sekali."

Aku merespon dengan hanya mengendikkan bahu.

Samuel kembali diam. Sambil menikmati kopi racikan barista andalannya, pria itu menatap lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu.

"David, kuharap kau nggak tersinggung dengan pertanyaan yang akan kuajukan." ujarnya.

Aku lantas tersenyum miring. Aku sudah menduganya, melihat perubahan ekspresi Samuel beberapa menit lalu, dia pasti hendak membicarakan sesuatu yang cukup sensitif. "Tergantung apa yang akan kau tanyakan," jawabku.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang