29 september 2019.
Dentuman suara musik yang memekakkan telinga, gemerlap lampu di dalam bar, serta gadis-gadis berpakaian minim menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Tapi bukan berarti aku tertarik. Nggak, nggak sama sekali. Aku lebih tertarik dengan liquor yang mereka jual.
Entah sudah berapa banyak kupu-kupu malam yang menghampiri dan mencoba merayuku. Namun nggak satu pun dari mereka berhasil. Satu, karena aku nggak bereaksi terhadap sentuhan mereka. Dua, karena seorang gadis berambut ombre hijau dengan mata kucingnya terus mengawasi mereka.
Di sinilah aku, duduk menyendiri, menatap kosong layar ponsel yang menampilkan pesan dari ibuku.
*David, kita harus bicara! Sampai kapan kau akan terus seperti ini?*
Sampai kapan? Entahlah. Mungkin sampai ia bosan.
Kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket, meneguk segelas kecil liquor dengan kadar alkohol rendah. Aku harus mengemudi, kawan. Jika aku mabuk berat aku bisa berakhir dengan denda ratusan ribu rupiah atau mungkin surat izin mengemudiku dicabut.
"Oh, ayolah David, bergabunglah bersama kami. Malam ini waktunya bersenang-senang, bukan menyendiri! Sesekali habiskanlah waktu bersama teman-temanmu!" Leo--bartender bar--tiba-tiba datang merangkul pundakku dan menggiringku untuk duduk di sebuah meja dimana teman-teman satu band-ku dan beberapa gadis yang berpakaian diatas lutut duduk melingkar. Aku menatap mereka dengan enggan dan melepaskan tangan Leo dari pundakku.
"No, thanks," jawabku datar. Seorang gadis dengan rambut yang dicat pirang mengerlingkan matanya padaku. Ewh...
"Aku akan memberimu liquor paling enak malam ini, come on, dude. Just have some fun!" Tangannya kembali meraih pundakku dan aku memutar mata, terpaksa menurutinya atau dia akan terus berbiacara seperti burung beo.
Seorang gadis berambut coklat dengan dress berwarna merah menyala mendekatiku. Dia tersenyum dan menawarkan minuman untukku. Aku hanya memberinya senyum enggan dan langsung menggeser kursiku menjauhinya. Kristi, si gadis ombre di sebelah kananku memelototinya. Aku tertawa dalam hati, dia masih sangat protektif padaku. Sikapnya masih seperti anjing penjaga yang nggak membiarkan majikannya didekati oleh siapa pun.
Tidakkah dia tahu semua sudah berubah? I changed, we changed. And there's no turning back.
Kristi, Reagan, dan gadis-gadis itu saling bersulang, meneguk liquor mereka masing-masing. Nggak lama kemudian, Leo datang membawakan racikan liquor-nya untukku.
"This is for our drunk expert, David James Scott!" katanya sambil memberikanku sebuah gelas kaca dan menuangkan liquor untukku. Aku hanya meneguknya sekali dan sensasi pahit langsung menyentak lidahku.
Drunk expert? I'm passed out two times faster than my friends and he called me drunk expert? He must be mocking me.
"Bagaimana?" tanya Leo.
"Not bad," jawabku cuek.
"Kalian juga harus coba!" Leo kemudian memutari meja, menuangkan liquor ke masing-masing gelas. Kami bersulang, kemudian minum bersama.
Setelah minum dua gelas, aku meninggalkan meja bersama minumanku. Aku nggak tahan, sungguh. Ada bersama mereka hanya membuatku ingin marah.
"David, mau kemana?" Kudengar suara Leo memanggil, namun aku mengabaikannya.
"Biarkan dia pergi. Maybe he needs more time." Kristi menjawab untuk Leo.
Aku tahu, dia menatap kepergianku, tapi syukurlah dia nggak mengejarku kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Hate, Future, and Past
RomanceTrauma dan luka membentuk kepribadiannya menjadi emosional, kasar, dan tertutup. Tapi bagaimanapun, David tetaplah manusia dengan hati. Seorang gadis lugu yang menjadi korban hubungan abusive, mampu mengobrak-abrik hatinya yang terus berusaha menya...