undangan

43 16 11
                                    

Lagu untuk chapter ini : nobody's love - maroon 5

18 November 2019

Entah sudah berapa minggu aku dan Sandra nggak saling bicara dan menyapa. Kami bertemu di kampus beberapa kali, namun kami saling membuang muka. Nampaknya gadis itu sudah bahagia bersama Jason. Pria itu menjemputnya beberapa hari lalu.

Sementara aku, masih berkutat dengan hari-hari hidupku yang menyebalkan. Beberapa hari terakhir, aku lebih sering berada di rumah sendirian karena lima hari lagi, ibuku akan melepas statusnya sebagai ibu tunggal dan menikahi Hadi Sanjaya, seorang anggota dewan kehormatan di kota ini. Sampai sekarang pun, sejujurnya aku masih enggan untuk datang.

Kabar baiknya, aku telah menyelesaikan skripsiku dan hanya tinggal menunggu persetujuan Profesor Jusuf untuk mendaftar sidang. Sungguh aku nggak sabar untuk segera hengkang dari rumah dan memulai kehidupan baruku. Aku memang berniat memutus hubungan dengan ibu dan calon ayah tiriku itu. Seperti halnya aku dan ibu memutus hubungan dengan ayah kandungku sejak mereka bercerai.

Ayahku berakhir di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penipuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan percobaan pembunuhan terhadapku, anak kandungnya sendiri. I wonder if he's alive or not. Dia pasti sangat menyukai penjara sampai-sampai menumpuk kejahatan sebanyak itu.

Siang ini, setelah menumpuk draft skripsiku di meja Profesor Jusuf, aku memutuskan pergi ke kafetaria kampus, setidaknya untuk terakhir kali sebelum aku sidang. Dan sialnya, nggak lama setelah aku datang, Reagan muncul.

"David, it's been a long time." Pria itu menyapaku. Kini dia menumbuhkan rambut di wajahnya.

Aku hanya mendengus, enggan menjawabnya ketika dia memutuskan untuk makan satu meja denganku.

"Dimana kekasihmu?" Tanyaku, bermaksud menyindir.

"Dia sudah sidang beberapa hari lalu."

"Really?"

Reagan mengangguk, tersenyum sopan pada gadis pelayanan yang membawakan kopi pesanannya. "Kurasa kau benar-benar menjauhi kami berdua sampai kabar sidangnya pun kau tidak tahu."

"Sampaikan ucapan selamatku padanya." Jawabku cuek, tanpa menatapnya sedikitpun.

Reagan mengeluh pelan "Temui dia dan ucapkan sendiri. Aku bukan tukang pos yang bertugas mengantarkan pesanmu"

Aku nggak menanggapinya. Terlalu enggan untuk memberi jawaban. Kristi sudah sidang? Ya, mungkin dia benar. Aku terlalu menjauhi mereka berdua sampai-sampai aku nggak tahu soal sidangnya. Aku terlalu sibuk menyimpan rasa marah pada dua sahabatku itu meskipun sebenarnya, aku nggak pernah benar-benar menaruh hati pada Kristi.

"Dude, she still loves you." Kata Reagan tiba-tiba.

Aku hanya melirik sekilas, lalu menyesap kopiku.

"Aku nggak mengerti kenapa dia begitu mengagumimu sampai-sampai dia nggak bisa melupakanmu. We spent time, we slept together, we kissed, but once, she called me by your name when she's drunk." Pria itu menatap keluar jendela, wajahnya kecut ketika mengakui fakta bahwa kekasihnya masih menyimpan rasa padaku.

"She just feel guilty. That wasn't love." Sangkalku.

"Temui dia. Sekali saja. Selesaikan konflik di antara kalian.. aku tahu aku sudah menikungmu, tapi aku pun nggak mau hubunganku dan Kristi menjadi seperti ini. "

"Cih. Sekarang kau tahu bagaimana rasanya berada di samping seorang wanita yang memikirkan pria lain saat kau sedang bersamanya." Aku mengangkat alis dan tersenyum sinis.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang