✳️ Bab C ✳️

121 22 5
                                    

« Liliane »

Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah Helia dan aku belum menemukan kejanggalan atau petunjuk. Bahkan Dad tidak menceritakan apa pun, barangkali agar aku tidak membocorkannya atau mungkin beliau juga sama bingungnya denganku.

Harusnya dia memberitahu. Bukankah aku diciptakan untuk menjaganya? Memastikan dia tetap berada di jalan semestinya? Barangkali, Dad masih mengira aku hanyalah putrinya yang masih berusia sepuluh tahun. Padahal sudah lewat hampir delapan dekade lamanya.

Mungkin, dia bermaksud melindungiku.

Mungkin saja.

***

Ada aturan yang Dad dan Helia sepakati. Kami hanya boleh makan di tempat yang berbeda, itu pun jadwalnya harus sama, meski kami tidak makan saat itu juga. Kenapa? Tentu saja, kami menunggu dan memastikan jawaban sesungguhnya.

Dad biasanya akan mendiamkan makanan kami selama beberapa saat. Ia juga akan mencoba meletakkan makanan itu di antara tumbuhan atau hewan-hewan kecil yang berkerumun. Jika ada reaksi atau keanehan, sudah dipastikan kami sedang diracun. Namun, beberapa hari ini belum ada reaksi ganjil sehingga bisa makan dengan tenang.

"Lily!" Dad memanggil. Ia sedang mengamati seekor tikus yang sedang kami bagikan makanannya.

Aku mendekat. Tikus tadi tampak lahap memakannya. Beberapa saat setelah menghabiskan umpannya, tikus itu oleng dan jatuh ke lantai.

Dad amati tikus itu, menyentuhnya dengan batang pohon yang kecil, memastikan. "Ah, ia hanya tidur."

"Kekenyangan?" tebakku.

Dad diam saja.

"Obat tidur?" tebakku.

Dad mengiakan. "Kita diet dulu sebentar malam ini. Tidak apa, 'kan?"

"Yang lapar terus itu kamu," balasku.

Dad tergelak, dia tepuk pelan rambutku. "Benar juga. Tapi, aku tidak keberatan. Toh, sekali saja. Lagipula, aku mulai merasa kekuatanku perlahan pulih."

"Dari mana asal peluru itu?" tanyaku, jelas heran. "Ab-Dad sendiri sudah lihat bentuknya?" Aku nyaris keceplosan. Meski di kamar pun, harus tetap waspada dengan mata-mata. Saat ini pula, kami mengobrol lewat bisikan.

Dad mengiakan. Wajahnya tampak mengeras. "Itu dari darah seseorang. Salah satu dari teman kita."

"Maksudmu?" Aku tentu tidak mau berprasangka, meski pikiranku tertuju pada ...

"Arsene Perrier." Dad melirik tikus yang terlelap itu. "Darah yang keluar darinya, rupanya dikumpulkan Zibaq kala dia tak sadarkan diri. Satu-satunya yang bisa menghalangi, hanya dokter pribadinya. Namun, sosok itu telah dibunuhnya."

"Berarti ... Zibaq mencoba membunuh Perrier dengan merenggut darahnya?" tebakku. "Tapi, bukannya kekuatan Perrier berasal dari batu ciptaannya? Barangkali serpihan batu itu menyatu di darahnya. Atau jangan-jangan batu itu yang diincar Zibaq selama ini?"

Dad kembali ke dirinya yang biasa. Tersenyum bangga dan menimang.

"Ah, anakku pintar! Pintar, ya, pintar!" Ia tepuk pelan kepalaku, tampak gemas.

"Apa maksudmu?" sahutku polos. Tentu saja heran dengan reaksinya.

"Aku benarkan setiap ucapanmu." Ia tersenyum. "Dan dengan ini, aku akan beritahu perkembangan, atau bisa dibilang, keberhasilan kita."

Aku diam saja, menunggu Dad melanjutkan.

"Aku temukan sebuah lorong yang cocok sekaligus aman bagi kita." Dad kian memelankan suaranya. "Di sana, aku menemukan rakyat kita. Mereka tampak kelaparan dan ketakutan."

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang