Jika kekuatan Ezekiel diakui berasal dari leluhur, maka tidak menutup kemungkinan dengan Darren. Terlebih ketika api birunya mampu melelehkan es karya adiknya hingga ruangan tadi kembali seperti semula. Akhirnya aku bisa menyimpulkan siapa lawan yang imbang bagi Ezekiel, meski sejauh ini jelas dia yang terkuat.
Dengan kekuatan sebesar itu, apa yang akan Ezekiel lakukan? Lantas, sekuat apa dia sebenarnya? Apa bisa menandingi Guardian yang kujumpai sebelumnya? Entah kenapa Khidir orang pertama yang muncul di benak ketika memikirkan lawan yang imbang baginya selain Darren. Tapi, aku harus menemukannya dulu, baru meneliti kekuatan. Untuk saat ini, aku dan Darren harus fokus mencari Ezekiel maupun target.
"Darren," panggilku. "Kekuatanmu itu berasal dari leluhur juga?"
Dia berjalan di depan, begitu pelan seakan takut jika langkahnya terdengar. "Ya."
Suara dari langkah kakiku memang cukup pelan bagiku, tapi jelas lebih berisik darinya. Namun, dia tidak menegur, berarti masih aman.
"Bagaimana dengan Ezekiel? Kalian bersaudara, 'kan? Apa leluhur kalian berasal dari dua leluhur yang berbeda?" tanyaku lagi.
"Maksud?" Darren menatapku sebelum kembali menatap sekitar.
"Begini, Ezekiel mengaku kekuatannya berasal dari leluhur, kekuatan es. Berarti, kamu juga?"
Darren diam sejenak. "Kayaknya."
Aku diam saja, tidak berniat bertanya jauh.
Tapi, dia melanjutkan. "Kami terpisah sejak kecil, bahkan gue enggak bakal tahu kalau Ezekiel dulu adik gue kalau ingatan di Shan enggak bantuin. Dan ... Waktu Dad mengaku jika dia memiliki anak selain gue."
"Berarti, kalian kenal karena dari Shan saja?"
"Di Shan kami kembar," jawabnya. "Tapi sekarang, kami malah jadi kakak beradik yang terpisah."
Entah kenapa reinkarnasi benar-benar dapat mengubah status seseorang dalam sekejap.
"Setelah bereinkarnasi, gue dibesarkan oleh seorang nelayan di kota ini," tuturnya. "Setelah cukup umur, gue memutuskan pergi dan mencari hidup sendiri."
"Orang tuamu masih hidup?" tanyaku penuh harap. Sejauh yang kutahu, jarang sekali Guardian memperkenalkan orang tua mereka kepadaku. Nemesis yang hanya menceritakan sedikit.
"Ya," jawab Darren. "Gue masih pakai marga mereka, Lanchester. Sementara Ezekiel, gue enggak tahu apakah Stafford itu marganya apa bukan."
Aku bahkan baru tahu jika nama belakang atau marga Ezekiel adalah Stafford. Jangan salahkan aku, dia hanya menyebut nama depan padaku dan aku kira hanya itu namanya.
"Kamu bahkan tidak tahu masa lalunya?" tanyaku, bukan menghina atau merendahkan, melainkan hanya memastikan. Menurutku tidak aneh jika bertahun-tahun bersama tapi tidak tahu masa lalu lantaran tidak semua orang terbuka akan hal itu.
"Dia enggak cerita, juga gue." Darren meneruskan langkah. "Gue baru bahas setelah lo bertanya."
"Jujur, aku baru tahu jika Ezekiel punya marga," tanggapku.
"Gue enggak yakin itu marga dia." Darren diam sebentar, menatap sekitar, baru kembali berjalan. "Dia paling minjam marga orang, atau ikut ibunya."
"Kamu tidak punya marga?" tanyaku pelan, takut menyinggung perasaannya.
"Tadi sudah dibilang, gue pakai marga Dad." Darren tidak mengubah nada bicara, tapi aku menangkap bahwa dia mulai kesal dengan rasa ingin tahuku yang terlalu tinggi ini.
"Berarti, kalian punya banyak kesamaan." Begitulah batinku berucap. Aku tidak mengungkapnya langsung karena dirasa tidak penting.
"Apa lagi yang pengen lo tahu, Putri?" tanya Darren.
Aku menarik napas, tahu betul jika suasana hatinya memburuk. Tapi, aku akan memberanikan diri bertanya.
"Sejak kapan kamu dan Ezekiel saling kenal?"
Darren diam lagi, kali ini menatap lukisan yang tertusuk es. Wajah Ascella tersenyum bangga, perutnya ditusuk es seakan menunjukkan dendam yang terpendam. "Saat dewasa, sekitar umur dua puluhan lebih, dia mampir ke sini dan gue langsung kenal."
"Jadi, kalian bisa saling kenal tanpa kalung ini?" Aku menunjuk kalungku yang bersinar.
"Kalung itu untuk kalian jika kami mengubah rupa nantinya atau sembunyi," jawab Darren.
"Jadi, kalian tidak butuh ini?" Aku dengan ragu menunjuk kalung ini.
"Kami tidak perlu. Kami sudah tahu."
Aku diam saja. Selama ini mengira mereka hanya dapat mengenali sesama Guardian karena kalungku dan Remi. Tapi, sekarang justru aku merasa benda ini tidak lain hanya menanda biasa. Lantas, kenapa kalung ini terus kembali padaku? Apa saja keistimewaannya?
Darren berbalik ke kanan. Aku ikuti arahnya. Kami tiba di ruang yang luas bagian atas sehingga terlihat di bawah ruang tamu yang kini dipenuhi es memanjang layaknya batu di dasar jurang. Aku merinding membayangkan sedetil itu Ezekiel merancang es hanya dengan fungsi untuk mengurung target. Kini, aku masih tidak mengerti mengapa dia melakukannya selain agar Zibaq tidak mencari inang baru.
Bicara soal inang, Zibaq bahkan pernah merasuki Nemesis dan untungnya lekas diselamatkan Tirta waktu itu. Bagaimana jadinya jika Zibaq kembali merasuki Guardian lain? Jangan sampai.
Bunyi patahan dari atas membuatku cemas. Terlebih ketika retakan sekitaran sini kian lebar seakan gempa barusan terjadi. Ini tidak bagus. Ezekiel bisa saja melukai dirinya sendiri jika terus begini.
Begitu menatap ke depan, aku hentikan langkah. "Darren." Hanya itu yang bisa kuucapkan untuk mengungkapkan rasa cemas dan takut.
Dia berpaling menatapku. Kemudian beralih ke bawah, kami kini terjebak di antara tangga lantaran sudah perlahan dikuasai duri es. Tidak hanya licin, juga berisiko tinggi.
Darren mengulurkan tangan, saat itulah kobaran api biru keluar dan perlahan merayap di tangga. Semakin bertambah apinya hingga mencapai puncak tangga. Butuh waktu lama dan tambahan panas agar es-es tadi meleleh dan membiarkan kami masuk.
Begitu tangga sudah aman, Darren pegang tanganku dan kami menjelajahi rumah ini di tingkat paling atas. Cukup masuk akal jika terjadi terjadi pertempuran di atas sementara di bawah sudah dipenuhi jebakan tanda Ezekiel tidak akan membiarkan lawannya lolos. Entah mengapa, Ezekiel kesannya sedikit mengingatkanku pada Nisma. Apa jadinya jika keduanya diadu? Kenapa saat ini aku terasa ingin sekali mengadu orang?
"Putri, pelan-pelan." Darren menahan tanganku ketika kami tiba di atas dan nyaris terpeleset akibat es yang masih melapisi lantai kayu.
Begitu aku menatap kembali tangga, sudah membeku dan memulai proses penambahan duri-duri es. Kekuatannya belum habis.
Aku dan Darren melanjutkan perjalanan. Pandanganku tertuju pada satu ruang yang bagian depannya telah dipenuhi duri es menyeruak hingga terkesan layaknya tempat ini telah disegel agar tidak ada yang masuk. Tangan kananku yang terbalut kain perlahan menyentuh es tadi, masih penasaran dengan rasanya. Dingin memang, tapi aku jarang merasakan sesuatu sedingin ini.
"Putri, jangan dekat-dekat," tegur Darren sambil menjauhkanku dari ruangan itu. "Lo bakal luka lagi kalo begini."
"Ah, iya." Hanya itu balasanku, sebenarnya tidak sempat memikirkan jawaban lain dari tegurannya. Memang benar dia melindungiku, tapi aku sendiri masih penasaran bagaimana cara kerja kekuatan es ini.
Retakan demi retakan kian melebar, tanda rumah sebentar lagi akan terbelah atau runtuh.
Darren menatap ke atas, mengamati retakan tadi. "Sudah dekat. Dia sudah tahu kita di sini."
Siapa?
Baru saja hendak bicara, aku merasakan genggaman tangan dingin menyentuh leherku. Bisikan pelan menggelitik leher. Terdengar suara wanita yang lirih menyertai.
"Akhirnya kamu tiba, Tuan Putri."
Hai hai! Terima kasih sudah baca bab ini. Wadidau, hampir saja lupa update padahal draft menumpuk di bawah sana.
Anyways, sudah dikasih sedikit clue perihal kalung ajaib ini. Yap, ini memegang peran penting dalam seri ini selain cuma penanda doang. Waduh, apa tuh? Pantau terus seri ini!
Sampai jumpa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...