Ariya menatapku. "Akhirnya berjumpa lagi. Dari mana saja kau?"
"Bersama pelindungku," jawabku.
Ariya mengalihkan pandangan ke Darren. "Kamu siapa lagi?"
Darren tidak menjawab.
"Kukira kamu tahu," sahut Safir. "Bukannya kalian sudah lama berkenalan?"
"Aku hanya kenal Hiwaga, Paman Idris, dan Khidir. Jangan sok kenal!" Ariya berkacak pinggang, terkesan tidak menerima kedatangan kami.
Safir mencibir. "Kamu kenapa, sih?"
"Kami menunggu adikmu," ucapku pada Ariya. Berusaha mengakihkan topik daripada membiarkan keadaan memanas.
"Adik yang mana?" Ariya jelas memiliki banyak adik. Hanya Arsya kakaknya.
Aku menjawab, "Akram–"
"Makanan! Mana makanan?!" Safir jelas sudah tidak sabar.
Darren masih berdiri di sisiku, tanpa suara maupun reaksi. Jelas tidak tertarik untuk ikut bicara.
"Aduh!" Ariya pun berjalan menghampiri kami. Dia tampak manis dengan daster panjang berwarna biru yang selaras dengan rambutnya. "Kalian sudah menumpang, sok penting lagi. Kalau Abi tidak menyetujui kolaborasi ini, sudah pasti kujadikan batu kalian!"
Ancaman Ariya bukan main-main. Saat berusia dua belas tahun, aku nyaris menjadi batu karena terpana akan kecantikannya. Kini, aku tetap waspada apabila berada di dekatnya terlebih dengan suasana hati seperti itu.
"Kolaborasi?" Aku mengulangi ucapannya.
"Ya, walimu meminta ini." Ariya kemudian duduk di sofa sambil bersedekap. "Tengah malam kukira bakal bertemu dengan calon suami, ternyata malah ini!"
"Siapa ..." Aku menggantung kalimat ketika Darren berbisik. Dia cukup menyebut satu nama yang seketika membuat jantungku berdebar. "Dia."
"Ya, Pak Tua itu." Ariya membenarkan. "Ada-ada saja kedatangannya. Kukira dia terlempar di suatu negeri yang jauh, seperti di–Nah, itu Akram."
Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja muncul Akram bersama beberapa camilan hingga nasi berbentuk gunung. Begitu banyak hingga tidak mungkin cukup serumah ini saja.
"Selamat makan." Akram lenyap tertiup angin. Seolah merasa tugasnya sampai di sini saja.
Aku kembali menatap makanan yang disajikan. Semua tampak menggiurkan.
Tampaknya enak. Aku langsung hendak menyentuh satu, tapi ... "Eh?"
Tanganku ditahan Darren.
Hendak bertanya ada apa, barulah aku sadar perannya di sini.
Darren meraih sebuah roti dan mencicipinya. Cukup lama menunggu reaksi hingga dia kembali mengunyah lebih banyak. Tanpa ragu, Darren menyerahkan sebuah roti itu kembali dengan dipotong setengah.
Safir tanpa ragu sudah menyantap beberapa camilan terutama yang manis. Dia bahkan makan mendahului kami.
Cukup lama aku tidak berpikir untuk makan yang manis-manis. Ini saat yang tepat untuk merasakannha lagi.
Hanya cukup beberapa buah roti sudah membuatku kenyang. Melihat semua orang di ruangan ini makan membuat suasana menjadi hangat meski tanpa sepatah kata.
Kebanyakan sudah menimati manisan, sepertinya Ezekiel juga bakal senang jika diberi sebagian nanti. Maka, kusimpan sebagian ke dalam kantong rok, semoga tidak tercecer.
"Darren?" Aku tertawa kecil melihatnya makan manisan begitu nikmat layaknya bocah.
Pikiranku beralih ke beberapa waktu lalu, Nemesis sangat suka dengan roti sehingga makanan utamanya saja dilupakan. Aku ingat betul ketika menawarinya sepotong dan dia makan hingga habis. Itu terus terulang sampai kedatangan rombongan Remi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...