✳️ 4 : Kekuatan dari Dewa - 7 ✳️

89 24 3
                                    

"Kenapa?" Ascella menatapku lagi. Kening berkerut, matanya sedikit berkaca, tanda dia kecewa.

Bagaimana aku bisa percaya pada sosok yang baru kukenal? Dia memang baik, tapi tidak cukup membuatku percaya. Bahkan seorang Guardian saja sudah membuktikan dengan rela mempertaruhkan nyawa demi melindungiku. Sementara Ascella sejauh ini hanya bisa membuatku menjauh dengan kata-kata. Kalimatnya tergiang-giang dalam benakku. Dia persis seperti Delisa dulu, namun kali ini lebih keras usahanya. Jika Delisa mengucapkan teka-teki masa depan dan membiarkan orang lain memutuskan, maka Ascella cenderung lebih memaksa seperti ini. Yang mana membuatku tidak nyaman.

Kutahan mulut ini agar tidak berkata kasar. Tentu saja aku akan lebih percaya pada Guardian-ku karena mereka terbukti telah melindungiku bahkan rela terluka parah. Belum begitu, sudah banyak kebaikan yang mereka lakukan demi aku dan adikku.

"Ascella, aku mengerti jika kamu cemas," ujarku pada akhirnya. "Tapi, percayalah padaku bahwa aku akan baik-baik saja selama ada di sisi mereka."

Ascella diam saja. Dia meneguk teh hangat itu sebelum dingin, begitu pula denganku. Setelah berlari sambil membawanya cukup menguras tenaga ditambah berteriak mencari Ezekiel. Untung saja aku masih kuat, atau bisa jadi semua itu tidak separah yang kubayangkan, bisa jadi ada rintangan yang jauh lebih berat.

Lelaki itu pada akhirnya berucap lirih. "Aku mengerti. Jaga diri."

Aku mengiakan.

"Jika mereka melukaimu," lanjutnya dengan tatapan serius. "Aku tidak akan segan bertindak!"

Aku sedikit tertawa mendengarnya. "Tentu saja mereka akan selalu membuatku bahagia."

Meski perjalananku bersama mereka akan disertai derai air mata, setidaknya aku akan tetap di sisi mereka. Selama masih bisa bersama, aku tidak akan melupakan perasaan ini.

Ascella tersenyum padaku dalam diam, dia kembali menegak minuman hangat sambil sesekali merenungkan sesuatu entah apa. Aku pun melakukan hal yang sama, minum dalam diam selama beberapa saat hening sambil menunggu. Pada akhirnya, dia kembali bicara. Kali ini lebih lantang seakan ingin seisi kedai mendengar.

"Saat ini, kakakku dan kekasihmu, Sylvester Bill, sedang bertempur antara hidup dan mati. Mereka kini berada di rumahku dan bisa jadi masih bertahan," ujar Ascella. "Bagaimanapun, aku akan kembali. Bahkan jika itu akan membunuhku, aku akan mencari kakakku. Karena dia satu-satunya yang kupunya dan aku tidak ingin kehilangan."

Aku mendengarkan. Sementara kulihat seisi kedai menatap kami berdua, jelas menyimak dengan serius.

"Aku akan kembali!" tegas Ascella. "Aku akan memastikan dia tetap hidup!"

Tanpa menunggu lagi, dia langsung menyerahkan beberapa uang pada barista dan berjalan keluar.

"Tunggu!" seruku. "Kamu yakin tidak berbahaya?"

Ascella berpaling, tersenyum padaku. "Aku akan baik-baik saja tapi aku tidak yakin jika kekasihmu akan bertahan jika bertarung tanpa penyemangat."

Entah kenapa ucapannya tadi membuat pikiranku kian kalut. Apa maksudnya? Penyemangat? Bukannya berada di tengah perkelahian itu sesuatu yang berbahaya?

Tanpa menunggu jawaban, Ascella mendekat dan meraih tanganku. "Ayo, kita selamatkan mereka!"

"Oi! Mau ke mana?"

Aku terkesiap. "Saskia!"

Tidak terduga, Safir datang sambil membawa sebilah pisau. Entah dari mana saja dia selama ini.

"Aku berniat mencari Tukang Tidur ini, dia susah sekali dicari!" keluh Safir.

Tampaknya seisi kedai sudah tahu siapa si Tukang Tidur yang dimaksud.

"Lepaskan." Seseorang melepas kedua tanganku dan Ascella. "Dia belum setuju."

Darren!

"Dash!" seruku gembira. "Dari mana saja? Syl dalam masalah, lho!"

"Aku tahu," balasnya. "Dia tidak butuh bantuan."

"Lah?" protesku. "Lawan kita tidak bisa diremehkan dulu!"

"Gue bertarung di sisi lain," jawab Darren. "Tugas gue menjaga lo."

Aku mengamati pakaian yang dia kenakan. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sementara Safir sudah dilapisi pakaian tebal hingga membuat gadis itu tampak seperti bola bulu.

"Kamu tidak kedinginan?" tanyaku.

"Dingin tidak menganggu," jawabnya.

Cukup menyenangkan melihat Darren lebih aktif bicara saat ini. Sekarang, tinggal menunggunya menunjukkan ekspresi. Tapi, sepertinya memang begitu wajahnya dari lahir.

"Hei, jadi mau bantu, nih?" tanya Ascella. Dia menatap Darren. "Kamu akan menyelamatkan Helia?"

Darren tidak menjawab selain dengan tatapan datar. Tentu membuat Ascella tersinggung.

"Aku akan menyelamatkan kakakku," ujarnya. "Dengan atau tanpa kamu!"

Darren tidak menanggapi.

Safir justru menahannya di depan pintu. "Oi, cari mati kau?"

"Aku bisa pergi sendiri!" Ascella mencoba mendorong Safir menjauh tapi tidak bisa. "Aku akan melawan jin itu! Aku akan mengusirnya dari raga saudariku!"

"Tidak semudah itu!" tegur Safir. "Kamu saja nyaris tewas tadi, bukan begitu, Thalia?"

Aku mengiakan. Untung dia tidak menyebutku "Putri" di tengah banyak orang.

"Kamu kira bakal mudah?" lanjut Safir sambil menunjuk Ascella. "Bahkan kesatria kami saja kewalahan, apalagi bayi macam kau."

"Jangan mengejekku!" tegur Ascella. "Aku akan melawan hingga titik darah penghabisan!"

"Lebih baik bantu kami saja," saran Safir. "Jadi kalau ada apa-apa, bisa langsung ditolong."

Aku dan Darren hanya diam, menunggu balasan dari lelaki itu selagi Safir masih menghalangi pintu masuk.

Aku alihkan pandangan pada Darren yang duduk di sisiku. Dia seperti tenggelam dalam pikiran sendiri. Mengabaikan keadaan luar, tidak bicara maupun menarik perhatian. Seakan menunggu perintah untuk bergerak. Ujungnya, dia perlahan memejamkan mata dan bahu terkulai tanda sudah berada di alam mimpi. Duh, Darren, cepat sekali tidurnya.

Terdengar lagi suara Ascella yang tegas dan kini terdengar mantap. "Baik, aku memihak kalian. Sekarang, apa rencana kalian?"

Safir menunjuk Darren. "Dia yang akan memimpin kita saat ini."

Mendengar namanya disebut, Darren membuka mata meski terlihat sebagian saja.

"Dia?" Ascella terdengar ragu. "Kita bisa cari pemimpin yang–"

"Nah, baru ikut sudah sok kasih saran," potong Safir. "Kamu tidak kenal kami. Ini baru soal pemimpin."

"Tapi, memangnya dia bakal apa?" balas Ascella. "Dia tampak mengantuk, seakan tidak sanggup bertarung di situasi seperti ini."

"Kamu terlalu meragukan," ujar Safir. "Tentu saja dia lebih tahu, Dash lebih berpengalaman mengingat dia dibesarkan oleh pasangan yang hebat di masa lalu."

Bukankah seharusnya Darren yang bicara? Ah, sudahlah.

Aku menyentuh tangan Darren. "Ayo, cepat! Syl dalam bahaya, kita harus bergerak sebelum Zibaq menang lagi!"

Bagaimanapun, aku juga tetap tuan para Guardia dan aku bisa menyuruh mereka bila terasa benar. Kali ini, aku merasa sebaiknya bergerak cepat lantaran rekan kami bisa jadi dalam bahaya.

Darren menatapku, lagi-lagi tidak ada reaksi selain tatapan mata yang bahkan maknanya sendiri sukar dimengerti. Melihat mata Darren rasanya seperti menatap lautan tanpa dasar. Begitu misterius, dipenuhi sesuatu yang dirahasiakan, tapi di sisi lain terlihat tidak ada apa-apanya dari permukaan.

Darren jelas sedang menatapku, kali ini tersirat senyuman tipis di bibirnya. "Kita akan tiba ke sana. Segera setelah kedatangannya."

Hai hai! Terima kasih sudah baca bab ini. Tunggu ya bab berikutnya, nanti ada anu, nih. Sampai jumpa!

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang