✳️ 4 : Kekuatan dari Dewa - 13 ✳️

90 23 3
                                    

Dia.

Dia yang membunuh ibuku.

Dia yang selama ini mencariku.

Dia juga yang merusak segalanya. Memastikan aku selalu terpisah dengan mereka.

Karenanya juga, Gill harus mengorbankan diri.

Dia alasan aku harus melawan.

Dia lawan kami.

"Zibaq," bisikku.

Raga siapa lagi yang kaupakai? Oh, kakaknya Ascella itu. Jadi, selama ini kami bicara dengannya. Tidak heran begitu ingin mendekat. Kini aku mengerti maksud Ezekiel beberapa hari lalu ketika "Helia" mengajaknya bekerja sama.

"Dia kayaknya enggak tahu, deh, konsekuensi atas keputusannya."

Ezekiel tahu. Dia juga memberitahu. Kini dia membuktikan ucapannya.

Aku mencoba tenang, meski Zibaq jelas masih memegang leherku, pegangannya kian erat dan membuatku merasa sesak.

"Azeeza," balasnya. Menyebut nama jiwaku.

Darren berdiri di depan, tatapan matanya dingin menusuk, tapi dapat kurasakan kobaran api membara dalam jiwanya hendak menyerang namun akan berisiko membakarku hidup-hidup. Tidak berkomentar, hanya keheningan.

"Setelah sekian lama, akhirnya kalian tiba juga." Zibaq terdengar tidak biasa dengan suara wanita di telingaku, kali pertama kulihat dia mengambil raga seorang wanita pula.

"Kauapakan Guardian-ku?" tanyaku, tidak bermaksud menyebut nama asli Ezekiel.

"Sylvester?" Dia bicara dengan nada merendahkan. "Dia bahkan tidak sanggup menyelamatkan dirinya sendiri."

Aku diam saja. Tidak akan percaya.

Ezekiel masih bertahan, buktinya es yang semakin tebal dan duri-duri es perlahan memanjang hingga sebagian telah mencapai ke dinding seberangnya. Tanda masih dalam penuh kendali. Tapi, di mana dia?

Darren masih di depan, tampak memikirkan cara untuk menyelamatkanku. Diam dan tampak tidak membiarkan siapa pun membaca pikirannya.

"Aku tahu kelemahan kalian." Zibaq dalam raga Helia lagi-lagi bicara dengan nada merendahkan. "Kalian tidak akan menyerang kalau di sisiku ada tuan kalian, bukan?"

Darren tidak membalas.

Pegangan di leherku kian erat. Aku tanpa sengaja tersedak ketika leher terasa sempit. Napas kian menipis, pandangan kian buram.

Darren menggetakkan gigi.

Zibaq tertawa merendahkan, untungnya cengkeraman itu melonggar. "Mau begini terus sampai kapan?"

Lagi-lagi hening.

Aku menyadari bahwa Darren sepertinya sedang menunggu, entah apa atau siapa. Tapi, dia terlihat tenang bahkan di situasi seperti ini. Hanya bereaksi jika aku tercekik. Menyadari tatapannya, aku sedikit mengerti apa yang harus dilakukan. Jangan sampai lengah apalagi menyerah pada musuh.

Aku mengumpulkan niat, tangan langsung menggenggam tangan Zibaq. Saat itu juga aku berusaha melepaskan diri, bahkan membungkuk agar lawan bisa sedikit memberi ruang.

Sedikit berhasil. Zibaq terdengar terkejut dengan tindakanku, lagi-lagi dia tidak belajar dari kesalahan. Sejak awal aku sudah menentangnya. Genggamannya melonggar. Menciptakan ruang bagiku untuk kabur. Aku menedang perutnya dengan siku.

"Azeeza!" tegur Zibaq sambil menggerang. Tangannya mencoba meraihku lagi.

Aku berlari meski harus sedikit terpeleset.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang