✳️ 2 : Pemburu Sihir - 1 ✳️

156 31 1
                                    

Ezekiel bilang, dia akan mengirim buku penuh coretan ini kepada Ascella. Meski kesannya seperti memberi hadiah dengan niat terselubung.

Seusai kejadian tadi, aku sedikit kecewa melihat pelindungku tidak mendapatkan upah karena kulihat dia pulang dengan tangan kosong dan malah berbaring di sofa.

Aku sampaikan protesku. "Mereka tidak berterima kasih sama sekali? Padahal mereka tidak bisa lari dari kejaran Gigantropy dan justru tidak menghargai usahamu."

Ezekiel yang tengah berbaring di sofanya masih asyik dengan gawai. "Sudah, Putri. Gue sudah dapat upah meski dari ceceran."

"Hah?"

"Beberapa tadi kehilangan uang di jalan, 'kan?" balas Ezekiel. "Nah, begitu saja cukup, kok."

Aku hendak protes, tapi tidak punya alasan kuat. Sangat janggal jika penduduk kota ini tidak menghargai usaha Ezekiel padahal dia bisa saja mencegah lebih banyak kematian, sedikit saja terlambat bisa fatal. Barangkali di lain waktu ia bisa melindungi semua orang. Aku percaya itu.

"Lagian gue juga enggak sempet bunuh, cuma membuatnya diam," ujar Ezekiel.

"Maksudmu?" Aku tidak mengerti. Apa dia bilang dengan membunuh atau membius agar Gigantropy yang dimaksud tadi jadi diam atau apa?

"Gigantropy juga baru muncul beberapa hari, sebelum lo ke sini," lanjutnya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Oh, ya? Kukira sudah lama," tanggapku meski ragu harus balas apa.

"Gue juga enggak tahu datangnya dari mana, itu makhluk langka padahal." Ezekiel masih sibuk memandang langit-langit. "Saking langkanya, palingan dalam setengah abad cuma ada dua yang lahir."

"Dua?" beoku. "Berarti ada dua Gigantropy di sini?!"

Satu saja sudah meresahkan, apalagi dua. Semakin banyak yang kutahu soal dunia luar, semakin aku berpikir sebaiknya menetap di rumah saja. Tapi, terlambat. Diri ini telanjur terseret ke sini dan tibalah di bagian Barat dunia. Ke situ saja sudah terasa aneh, banyak perbedaan dibandingkan tempat asalku.

"Kayaknya." Ezekiel masih memantau langit-langit. "Makanya orang Arosia pada takut sekarang."

Oh, ulasan yang bagus. Mana ada yang tidak takut?

Pikiranku beralih beberapa jam lalu, tepat setelah Ezekiel menyerahkan buku itu kepada Ascella.

***

"Ini, Dek."

Hanya dengan itu, Ezekiel serahkan buku itu seakan menyerahkan hadiah. Dia tersenyum. Ya, dengan senyuman cerah, Ezekiel menyerahkan buku yang tampak usang tadi kepada lelaki malang yang kini tampak kebingungan.

Bagaimana tidak? Ascella hanya bisa menandangi hadiah untuknya ditambah senyuman Ezekiel. Bahkan tangan lelaki itu gemetar ketika menyentuh buku itu.

Ascella menatap buku itu begitu lama hingga aku dan Ezekiel saling tatap, menunggu salah satu di antara kami yang memutuskan. Aku tentu saja tidak nyaman melihat seseorang diam saja di depanku seperti itu.

Tentu saja, Ezekiel yang bicara. Dia mendekat ke lelaki itu dan menepuk pelan kepalanya. "Kami pamit, ya."

Ascella mendongak. "Te ... Terima kasih." Dia rupanya tidak sanggup berkata-kata.

Ezekiel melepas tangannya dari kepala Ascella. Dia menatapku. "Ayo, pulang!"

Baru saja hendak pergi, kami dihadang oleh seorang wanita berambut jingga sepinggang yang disisir rapi. Matanya juga punya warna serupa dan kutebak dia ada hubungan erat dengan Ascella lantaran kemiripannya.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang