Dia berdiri di depan celah lebar pintu kamar yang bahkan tidak jelas konsepnya ini. Waktu itu, aku memang mengaku terlalu banyak mengeluh. Melihat Khidir kembali seakan telah mencairkan keadaan.
"Khidir!" Aku sebut namanya lagi kemudian berlari lalu mendekap erat dirinya. "Aku merindukanmu."
Dia mengelus pelan rambut hijauku. "Ya, aku juga," balasnya lembut. "Kamu berteriak dari tadi, aku jadi cemas."
Masih dalam posisi memeluk, aku lanjutkan ucapanku. "Tidak ada balasan, wajar aku teriak."
"Kyara." Khidir melepas pelukan. "Kita sedang bersembunyi, tidak bisa berkumpul saat ini. Sementara aku di sini memastikan agar dia tidak datang padamu."
"Aku tahu," balasku pelan."Kalau tahu, kenapa masih teriak?" balasnya. "Kamu bukan dirimu yang dua belas tahun, harusnya sudah paham."
Melihat tatapan mata hijau Khidir yang lembut membuatku merasa terkunci. Seakan tidak bisa menghindar. Memang sekarang aku berusia enam belas, sudah dianggap dewasa, bahkan harusnya sudah menikah dan membangun keluarga.
"Tapi, mereka belum memberiku makan." Aku membela diri.
"Kami juga belum makan sejak kemarin," sanggah Khidir.
"Nah, masa dia bawa kita ke sini tanpa jaminan apa pun selain tempat berlindung?" balasku. "Ayolah, harusnya dia menyediakan sesuatu yang berguna untuk kita. Bukannya itu tugasnya?"
Khidir tidak mengucapkan apa pun.
Aku yakin dia berjuang untuk tidak mengucapkan omelan yang biasa diucapkan para ibu dari negeri asalku. Jika dia Mariam, sudah pasti itu akan terjadi.
"Jangan mengeluh dan manja. Kamu harusnya bersyukur. Anak di luar sana lebih menderita tapi tidak mengeluh sepertimu."
Aku akan memaklumi jika Khidir mengucapkan kalimat tadi. Tapi, dia memilih diam dan itu jauh lebih menakutkan. Seakan memberi seluruh pesan dari batinnya padaku langsung. Aku mengerti apa yang ingin dia sampaikan dan aku paham harus apa sekarang. Tapi, apa hanya itu saja yang bisa dilakukan?
"Khidir." Aku sebut pelan namanya.
"Ya?" balasnya.
"Aku ... Aku mengerti apa yang ingin kamu ucapkan." Aku berudaha merangkai kata-kata. "Tapi, maklumilah kalau gadis ini juga masih butuh arahan dari walinya, terutama kamu sebagai Guardian-ku."
"Kamu juga harus belajar membuat keputusan sendiri," sahut Khidir. "Karena kami tidak selamanya bisa ada untukmu, meski kami ingin sekali pun."
Aku mengiakan, berusaha membuat suasana membaik. "Tapi, aku juga butuh bimbingan. Kalian tidak mungkin membiarkanku tersesat, bukan?"
"Kamu harusnya sudah memikirkan dampak dari setiap keputusan di usia seperti ini," balas Khidir. "Jika sudah tahu dampaknya buruk, jauhi."
Di sinilah aku ingin berhenti. Dia tidak akan mengerti maksudku sekarang.
"Kyara, aku yakin kamu sudah pasti bisa." Khidir tersenyum tipis, tampaknya berusaha menghibur. "Selama ini, kamu sudah seharusnya berkembang. Keadaan saat ini tidak akan membiarkanmu lengah."
Aku kehabisan argumen meski ujungnya bakal dapat balasan yang bagus. Tapi, aku juga tidak ingin memperpanjang masalah.
"Baik." Aku menunduk. "Aku mengerti."
Kehehingan mulai menyelimuti.
Khidir lalu berpaling. "Ada kabar baik, kita kedatangan teman lama."
Awan yang menjadi penghalang selama ini seketika memberinya jalan. Persis ketika Khidir masuk ke kamar ini. Membuatku tercengang menyadari selama ini pembatasnya hanya sekadar menutupi pandangan.
"Teman lama?" beoku, aku berlari ketika menyadari dia semakin jauh. "Siapa?"
Khidir terus melangkah. Pandanganku dipenuhi oleh awan tentunya. Seisi ruangan bahkan tangga pun dilapisi awan. Barangkali konsepnya memang semua terbuat dari itu.
Meski dari awan, kami dapat menginjaknya tanpa khawatir jatuh. Selama ini aku membayangkan awan laksana kapas yang tidak akan kuat menahan beban yang lebih berat dari kertas, namun di sini bahkan mampu menahan beban seberat orang dewasa bahkan mungkin lebih.
Aku coba menyentuh bagian awan yang menutupi pandangan yang letaknya beberapa langkah dari pintu kamar. Rupanya sekeras lantai yang mana membuatnya menjadi dinding pemisah. Duh, kalau tidak ada pembeda, sudah pasti banyak yang menabrak karena mengira itu ruang terbuka.
Kami berdua menuruni tangga yang tidak begitu panjang. Seluruh ruangan ini tidak memiliki hiasan melainkan awan saja. Barangkali karena memang seperti itulah seharusnya rupa tempat persembunyian itu. Tidak ada benda apa pun yang mencolok. Aku yakin itu terjadi karena tempat ini hanya digunakan sebagai tempat berdiskusi sementara, bukan menetap.
"Sebentar lagi dia ke sini." Khidir berhenti begitu kakinya menyentuh lantai bawah.
"Siapa?" tanyaku.
"Gillmore."
Gill.
Sudah sangat lama aku tidak mendengar nama itu.
Terakhir kulihat hanya tangannya yang terpotong. Pasti dia perlu waktu lama untuk kembali utuh seperti sedia kala. Kini, aku sedang menunggu kedatangannya.
Tapi, bagaimana cara mereka membawa ...
DUK!
Aku tersentak ketika mendengar suara itu. Tidak kusangka tempat yang dipenuhi awan bisa menciptakan suara sekeras tadi.
Khidir tidak berkutik, hanya memandang ke arah yang mungkian dia anggap sebagai sumber suara. Aku ikuti arah pandangnya.
Hening.
Kukira akan ada suara seperti langkah kaki atau barangkali seruan dari ujung sana. Nyatanya hanya kecanggungan menyertai. Di mana sesuatu itu jatuh?
Aku yakin betul siapa yang telah dilempar masuk. Tapi diam saja bukan reaksi yang kutebak bisa muncul dari orang seperti dia.
Aku menunduk hanya untuk sekadar memastikan. Jika benar tebakanku, maka aku sudah pasti akan bergembira. Mata hijauku mengarah ke kalung yang melingkari leher.
Kalungku masih bersinar, karena ada Khidir. Ini membuatku kesulitan menebak di mana Gill sekarang.
Aku menarik napas, hendak menyebut namanya langsung.
"Putriii ...! Pangeraaan ...!"
Nah, panjang umur.
Baru hendak melangkah, kudengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Begitu keras hingga dalam sekejap terlihat bayangan seseorang melesat ke arahku.
"Putri!"
Aku tidak percaya ini.
Dia ...
Tidak sempat bereaksi, tubuhku telah ditarik ke dalam dekapannya.
"Syukurlah!" Dia terdengar sangat bahagia. "Kukira aku tewas!"
Ingin sekali mulut ini berucap, tapi untuk sosok seperti dia sebaiknya didiamkan saja.
Aku pun mengira dia telah gugur. Nyatanya, selama masih ada anggota badan, dia akan tetap hidup. Guardian yang lemah secara fisik, tapi begitu susah ditaklukan. Buktinya, sekarang dia kembali di sisiku. Sesuai dengan janjinya akan menyusulku.
Aku biarkan Gill meluapkan emosi sementara Khidir menatap kami dengan senyuman. Menjadikan momen ini begitu manis dan canggung di saat yang sama.
"Gill." Aku mendorong pelan badannya, hendak melepas.
Namun, dia belum juga melepas pelukan.
"Sudah, Gill." Aku menegaskan, mencoba melepaskan diri.
Gill melepas pelukan. Dapat kulihat sorot matanya yang berkaca akibat gejolak kegembiraan.
Kulihat wajah Khidir menatap belakang Gill. Mata hijaunya menyusuri badan pemuda itu dari bawah hingga atas, seakan memeriksa jika ini memang benar Gill dan dia kembali secara utuh.
Suasana hening kembali tapi Gill masih saja menatapku.
Kucoba mencairkan suasana dengan mengucapkan sesuatu yang manis.
"Aku senang kamu kembali." Kucoba menghiburnya sedikit. Meski keadaan di luar mungkin sedang kalut.
"Mungkin terkesan aneh tapi ..." Gill menggantung kalimatnya. "Aku kira ini rumah siapa. Ternyata .. Ah, aku jadi ragu."
"Kau tidak salah kira," balas Khidir.
"Istana Zarqan?" Mata hijau Gill melebar. "Istana!"
Dia mendongak menatap tajam langit-langit yang begitu jauh di atas, tertutup awan. Dari reaksi Gill aku yakin dia seakan baru saja membuka kembali ingatan yang telah lama dikubur.
Gill kembali menatapku dan Khidir. "Siapa yang menyelamatkan kita dari kadal itu?"
Dia sepertinya baru sadar. Kujawab pertanyaannya. "Ezekiel."
"Ezekiel ... Guardian yang mana?" tanyanya lagi.
"Gemini." Karena aku hanya tahu nama lainnya di Shan, aku hanya jawab itu.
"Oh, Hansel." Gill menertawakan dirinya sendiri. "Sudah lama tidak melihatnya."
"Kamu ingat?" Seharusnya aku tidak terkejut.
"Guardian mana yang lupa?" Balasan Gill membuatku merinding. "Saat aku memulihkan diri, aku tidak melihat apa pun selain kegelapan. Aku tertidur lebih tepatnya. Saat bangun, tahu-tahu sudah di sini."
"Baguslah kalau kalian tidak saling melupakan." Khidir membalas. "Dua yang hilang ingatan saja sudah merepotkan."
Aku tersindir.
"Hei, kita sendiri yang lengah waktu itu." Gill menunjuk Khidir.
"Tetap saja." Khidir tertawa ringan, entah untuk sekadar mencairkan suasana atau justru mengejek.
Gill mendengkus. "Baru bangun sudah membuatku emosi."
Aku tersenyum menahan tawa. Aduhai, seharusnya aku malu akan diriku akibat kekacauan ini. Andai aku ingat, barangkali bakal lebih mudah.
"Kyara." Khidir memanggilku. "Sudah waktunya."
Aku tidak mengerti. "Hah?"
Khidir melangkah mendahului kami ke arah kiri. "Badai telah usai. Kita bisa keluar sekarang."Hai hai! Terima kasih sudah membaca bab ini. Wah, ada pertemuan yang tidak terduga, nih. Siapa yang dah ngira anu? Hehe, gitulah.
Sampai jumpa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasía| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...