✳️ 6 : Akhir Hayatnya - 7 ✳️

101 25 1
                                    

Keesokan harinya, Khidir membangunkanku. Sedikit berbeda karena yang biasanya membangunkanku selama ini adalah Mariam kalau aku tidak bangun sendiri. Entah apa yang terjadi pada Mariam, aku jadi ingin bertemu kembali dengannya.

"Kyara," panggilnya lagi.

Aku menyahut meski mataku terasa berat. Sejak kemarin aku merasa aneh, bukan sakit maupun perasaan lain. Antara nyaman dan resah di saat yang sama. Kami memang telah berada di akhir kisah waktu ini, tapi bagaimana berikutnya? Seperti ada sesuatu yang menungguku jauh di masa depan sana. Entah apa.

"Ayo," bujuknya dengan nada pelan. "Kau aman sekarang, kita bisa pergi  tanpa rintangan."

Seperti biasa, suara para Guardian memang enak didengar, membuatmu merasa aman di sisinya. Membuat tidurku kian nyenyak saja.

Aku mencoba bangun meski dunia masih tampak berputar. "Ke mana?" tanyaku malas.

"Danbia," jawabnya. "Adikmu menunggu."

Mendengarnya, aku berjuang untuk bangkit dan membuka mata dengan lebar. "Sebentar."

Kabar Remi hampir tidak pernah terdengar sejak kami terpisah. Adik yang baru kukenal beberapa hari itu telah membuatku merasa bertanggung jawab atas keselamatannya, meski kami berdua dijaga oleh sekumpulan orang yang "cukup" terlatih.

"Stafford sudah menunggu." Khidir berdiri dan bergerak menjauh. "Ayo, semangat pagi!" Kutahu dia hanya mencoba menerangi suasana.

"Eh, pakai apa kita?" tanyaku. "Kuda?"

Kudengar Khidir tertawa pelan. "Es."

Mataku terbuka lebar. Memang ini tidak aneh lantaran Ezekiel pernah menggunakannya bersamaku. Tapi, ini terkesan berlebihan di saat yang sama. Es? Apa tidak meleleh? Tunggu, barusan aku ingat kejadian di mana kota membeku begitu lama. Kalau kota saja susah mencair esnya, bagaimana dengan ... kereta es? Baru saja bangun sudah disuruh berpikir.

"Ayo, Kyara!" seru Khidir yang terdengar mulai melangkah keluar dari pintu. "Mereka mungkin butuh bantuan."

"Tunggu, mereka siapa?" Aku yang baru saja bangun tentu tidak mampu mencerna apa gerangan yang terjadi.

"Para Guardian!"

"Sebentar!" Aku bergegas merapikan rambut dan menyisirnya dengan sisir yang disediakan, barangkali punya Khidir.

Beberapa saat menunggu, aku akhirnya siap dan kami berjalan keluar. Akhirnya mata hijauku mampu melihat dunia dengan lebih jelas. Aku berdecak kagum begitu melihat kereta yang berwarna biru cerah, bentuknya menyerupai kaca dan jelas terbuat dari es ciptaan Ezekiel.

Terlihat rambut pirang Ezekiel muncul dari jendela. Dia tersenyum dan memberi kami isyarat untuk masuk. Saat masuk, aku membantu Khidir membawa sejumlah tas yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tas-tas tadi diletakkan di bagian belakang sementara aku duduk bersama Khidir dan berhadapan dengan Ezekiel.

"Pagi," sapa Ezekiel yang hanya kubalas dengan senyuman.

Saat itulah kereta melaju dengan sendirinya. Ketika aku melihat jejak kereta di belakang, terlihat bekas es yang perlahan mencair seakan itu yang membuatnya berjalan maju. Sementara bagian depan tidak terlihat lintasan. Sepertinya es itu berjalan bersamaan dengan rodanya sehingga menciptakan jejak basah di tanah. Kereta melaju melintasi hutan di kota Adrus, menyisakan negeri Arosia yang belum terjamah manusia sebelumnya.

Mengingat kota Adrus, aku langsung bertanya. "Ezekiel, bagaimana nasib warga Adrus setelah ini?" tanyaku.

"Kemarin gue sudah bilang ke mereka kalau gue bakal pergi karena tugas sudah selesai, mereka iya aja, sih," jawab Ezekiel.

Sepertinya, dalam lubuk hati, mereka lega akhirnya Ezekiel pergi. Menginggat dia sudah beberapa kali membuat mereka ketakutan. Namun, risikonya Adrus telah ditinggalkan pelindung mereka. Ah, aku seharusnya tidak memikirkan itu semua. Sesuai dengan ucapan Ezekiel kemarin.

Beberapa jam berlalu dalam keheningan, aku hanya menghabiskan waktu dengan menatap para pelindungku yang ... sibuk dalam dunia mereka berdua. Tampaknya Ezekiel dan Khidir mulai membicarakan sesuatu yang hanya mereka berdua pahami. Aku simak beberapa kalimat, tapi tidak pernah kupahami apa yang dibicarakan bahkan topiknya saja tidak kutahu. Akibatnya, aku jadi lupa apa persis obrolan mereka hari itu sehingga ketika menulis bagian ini, aku masih tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Tampaknya menarik karena keduanya mulai mengabaikan keberadaanku. Tidak aneh kalau dua Guardian saling memahami, tapi aku juga penasaran apa yang mereka bicarakan. Hingga tiba di mana ada hal yang sedikit kuingat.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang