Ketika jeritan Ascella menggema, bongkahan es memenuhi pandangan. Membentuk beragam wujud dari patung menyerupai sosok menghias sejarah di masa lampau hingga dewa-dewa dari kuil. Namun, fungsinya hanya satu, menyegel siapa saja yang terperangkap di dalamnya.
Krak!
Patung-patung itu bertabrakan, namun tidak tampak saling meruntuhkan. Membentuk layaknya sebuah dinding pelindung bagi Ezekiel dan Ascella di dalam.Dari getaran yang diciptakan, aku berusaha menjaga keseimbangan. Sementara itu, dapat kurasakan Zach menahanku dari kejatuhan. Dia masih di punggungku, melindungi dari kejatuhan bongkahan es yang berhamburan.
"Putri." Zach memanggil, seperti ingin memberitahu sesuatu.
Aku mencoba mencari apa yang dia maksud dengan mendongak, siapa tahu dia berusaha menunjukkan sesuatu di atasku atau justru samping.
Kulihat bayangan hitam masuk ke istana es ini begitu patung es semakin bertambah. Jejeran es yang belum menyatu tadi langsung merapat dan menyegel bayangan tadi beserta sosok di dalamnya. Entah apa yang akan Ezekiel lakukan kali ini.
Aku harusnya menjauh sedikit, pikirku.
Belum sempat aku berkutik, bongkahan es membentuk di bawahku. Meninggi layaknya tumbuhan, hingga menyerupai gunung sementara aku berdiri di atasnya. Dapat kurasakan Zach memegang bahuku dengan erat, seperti memastikan agar aku tidak jatuh atau barangkali bersiap membawaku terbang menjauh. Namun, sejauh ini hanya membiarkan aku berdiri di atas gunung es ini.
Belum cukup sampai di situ, jejeran patung es yang merapat tadi bergetar, sementara yang berada di luar perlahan bergerak membentuk lingkaran dengan saling berdampingan. Membuatnya tampak bagai lapisan-lapisan dinding pelindung.
Gerakan patung-patung itu sukses mengguncang seisi istana es, hingga beberapa bagian dari langit-langit mulai berjatuhan. Aku berlutut dan menutup kepala demi menghindari kejatuhan. Namun, tidak ada yang kurasakan selain pelukan dari belakang dan suara dentuman yang bersahutan.
Zach, dia masih di sisiku.
Aku tahu, dia berjanji akan melindungiku dalam perjalanan bahkan setelah bertemu dengan Ezekiel kembali. Berarti untuk sementara ini aku akan aman dan bisa bebas bergerak selama pertempuran berlangsung.
Aku amati patung-patung es yang menyegel Ezekiel, Ascella, dan bayangan hitam tadi. Dapat kulihat dentuman keras dan cahaya saling bersahutan dari dalam mengguncang patung yang mengelilingi. Baru kali ini aku melihat seorang Guardian dengan berani melawan satu jin yang selama ini menjadi lawan kami. Sebelumnya, diperlukan sekelompok Guardian guna melawannya dan itu pun belum tentu berhasil. Ezekiel memang aku akui kuat. Namun, apa dia sanggup melawan seorang diri? Akankah dia memenangkan pertempuran ini?
"Kyara!" Seruan yang familier tertangkap telingaku.
Aku menatap ke bawah, terkejut akan kedatangannya. "Khidir!"
Kulihat dia berlari mendekat. Dia lompati setiap bongkahan es layaknya susunan tangga. Hebatnya lagi, Khidir tidak tergelincir sedikit pun setiap kali sepatunya menyentuh permukaan es. Setiap langkah dia lalui hingga tiba di sisiku.
"Kamu tidak apa-apa?" Khidir langsung bertanya begitu tiba.
"Aku tidak apa-apa," jawabku.
"Stafford sedang mengurus Zibaq," lapor Zach. "Kita tidak bisa banyak membantu."
"Kau bisa manipulasi ruangnya," saranku.
"Ya, tapi jin itu akan kabur," sahut Zach. "Putri ingat ketika dia masih menggunakan nama Evergreen? Dia memanfaatkan kekuatanku untuk mencoba meremukkan badan kalian. Namun, seekor jin dapat dengan mudah berpindah tempat karena mereka tidak memiliki raga seperti kalian."
"Bagaimana dengan Ezekiel?" tanyaku. "Tidak mungkin kita biarkan dia sendirian."
Khidir mengamati lapisan-lapisan es pelindung itu. "Orang ini tidak perlu ditolong lagi." Dia terdengar memuji seakan Ezekiel sanggup melawannya.
Entah kenapa, pikiranku tertuju saat pembebasan Khidir dan Idris waktu itu, Tirta dengan mudah menaklukkan Zibaq seorang diri meski jin itu memanfaatkan kekuatan dua Guardian sekaligus. Aku belum pernah melihat Guardian sanggup melawan jin itu seorang diri sebelumnya.
"Apa Ezekiel sekuat Tirta?" tanyaku. Tanpa menjelaskan, aku yakin Khidir dan Zach mengerti.
"Putri masih tidak ingat," ujar Zach, tidak terdengar kecewa, malah terkesan datar.
"Kamu akan lihat sendiri," ujar Khidir.
Aku menatap keduanya, mereka tampak begitu yakin. Aku memang belum pernah melihat semua Guardian lalu membandingkan mereka, sehingga ucapan mereka tadi meragukanku. Jika memang Ezekiel sekuat itu, tidak heran warga Kota Adrus begitu takut padanya.
Dinding es tadi menahan setiap getaran dan serangan, namun tidak pernah menunjukkan keretakan bahkan hancur akibat serangan. Sementara di dalam sana sudah dipastikan terjadi pertempuran sengit.
Pancaran cahaya dari kalungku bersinar terang, tanda Guardian di dalam sedang dipenuhi bersemangat bertarung. Namun, aku tidak dapat menebak nasib lawannya di dalam.
"Putri ingin pulang?" tawar Khidir."Aku bisa mengantarmu," timpal Zach.
"Tidak, Khidir." Aku menolak. "Aku tidak akan meninggalkan Guardian-ku."
Kukira Khidir akan mengomentari tindakanku, tapi dia diam saja. Cukup langka melihat Khidir lebih sedikit berkomentar, tapi aku sadar situasi ini tidak tepat untuk membuka mulut. Terlebih jika sambil menunggu kabar dari mitra yang tengah berada di tengah medan pertempuran.
Aku merasa pantas untuk menunggu, sudah sepantasnya pula seorang Guardian ditunggu. Mereka mungkin bisa bertempur sendiri, tapi aku ragu apa mereka sanggup bertarung seorang diri dalam jangka waktu yang lama. Terlebih jika lawannya tidak jelas kekuatannya sebatas apa.
Tunggu, aku melupakan seseorang. Ah, malunya aku. Sudah ceramah tentang pentingnya mencemaskan seorang Guardian tapi di saat yang sama melupakan seorang. Dia mungkin tidak banyak bicara, bahkan terbilang seakan melenyapkan diri menyatu dengan alam ketika berkumpul dengan banyak orang. Namun, aku merasa tidak pantas mengabaikan dirinya. Dia tetaplah Guardian-ku.
"Aku ingin tahu kabar Darren," kataku pada kedua Guardian di sisiku. "Di mana dia?"
Khidir menunjuk bagian samping dinding es itu. "Dia di luar bersama Zahra dan rakyatku. Mereka saling menjaga dan memastikan rencana ini berjalan lancar."
Aku bahkan tidak tahu rencana mereka, salahku sendiri tidak banyak bertanya. Harusnya aku harus lebih sering bicara dengan mereka karena aku pantas tahu.
"Lalu, kenapa kalian tidak mencoba menolong?" tanyaku. Rasanya janggal jika Guardian menolak untuk membantu mitranya.
"Sudah dibilang, Stafford sanggup melawan Zibaq sendiri, sementara Lanchester juga sama kuatnya," jawab Khidir. "Jika misal keduanya tidak sanggup, ada keluarga Wynter di luar yang siap membantu."
"Kalian bisa saling membantu tanpa disuruh," sahutku. "Jangan biarkan seseorang kerja sendirian begitu."
"Dia sendiri yang mau," sahut Khidir. "Stafford dengan penuh kepercayaan diri bilang seperti itu. Jika dia minta bantuan, sudah pasti kami akan cepat bergerak."
Ternyata Ezekiel sendiri yang percaya diri. Dia memang sukses melawan rombongan pasukan yang memburunya dalam sekali serang, tapi jika rombongan yang dimaksud ini tidak memiliki sihir maka wajar dapat dilawan dengan mudah. Namun, apa berlaku juga untuk satu jin yang kira-kira menyimpan banyak jenis sihir dalam jiwanya?
Aku benar-benar ingin tahu.Hai hai! Terima kasih sudah baca sampai sejauh ini. Gimana menurut kalian? Agak anu, ya. Tebak nih ending pada season ini bakal seperti apa? Jawab di kolom komen, ya!
Sampai jumpa nanti!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...