✳️ Bab A ✳️

145 30 6
                                    

«Liliane»

Dad bersandar di sisi jendela, matanya hampir tertutup serta pandangan kosong menunjukkan betapa lesanya beliau. Kami baru saja memesan kereta untuk berkunjung, rumah target sebentar lagi muncul. Seusai mendapatkan rumah sementara, kami lalu makan di restaurant, Dad langsung mengajakku bertemu dengan seseorang.

"Dad, dari mana dapat rumah secepat itu?" ujarku yang bersandar di sisinya. "Kita baru sampai di sini."

Ia tersenyum bangga dan menepuk kepalaku dengan gemas. "Hebat, 'kan, ayahmu ini?"

Aku hanya mengiakan.

Kalau ada sihir, sudah pasti kami dapat rumah baru seperti bivak alam sederhana. Namun, kini Dad hanya mengandalkan ilmu dan uang seadanya.

"Lumayan, bisa buat besok," ujarnya merujuk pada uang saku kami. "Besok, aku akan melamar kerja ke wanita itu."

"Kenalanmu?" tebakku.

"Tidak juga," jawabnya. "Memang, aku dulu pernah mengenalnya saat masih bujangan. Tapi ... Yah, begitu."

Aku paham, ia sengaja merahasiakannya. Takut jika sopir mendengar.

Aku memandang dunia luar lewat jendela kecil. Kulirik sopir, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang jalan. Kendati demikian, kami memilih untuk tetap berbisik.

"Untuk apa kita ke sana?" tanyaku. "Apa hubungannya dengan itu?"

Aku jelas merujuk pada rencananya. Terutama sesuatu yang ada di rumah target utama kami. Ada hal yang dia ambil dan kami akan merebutnya kembali.

"Kamu ingat keluarga itu?" tanya Dad. "Mereka yang sempat mengacau di negeri kita."

Ah, aku ingat. "Jadi, Dad tahu mereka di sini? Setelahnya apa?"

"Tentu cari bantuan," jawabnya. "Bukannya mereka di sana sejak lama? Itu pun hanya segelintir orang yang selamat."

"Apa mau mereka?" tanyaku.

"Aku tidak tahu," balas Dad. "Tapi, tidak ada salahnya menolong."

"Begitu?"

"Aku punya alasan untuk membebaskan beberapa, kita hanya butuh satu keluarga."

"Dad tahu dari mana semua ini?"

Dad tersenyum. "Ada, deh." Dia yang biasa.

Kereta berhenti. Dad langsung bayar ditambah dengan tip lalu menggandengku masuk.

Rumah yang kami incar tidak sebesar yang kukira. Dari jumlah kekayaan keluarga ini, harusnya mereka punya rumah yang lebih besar. Barangkali, akibat tragedi itu membuat mereka memutuskan untuk bersemayam dalam kegelapan.

Dad mengetuk pintu.

Mata biru muncul dari balik pintu. Di antara bayangan, menatap kami bergantian. "Apa?"

"Aku Jasper Pine dan ini Liliane Pine." Dad memperkenalkan kami.

Setelah peristiwa tadi, Dad memutuskan untuk menyamar dan mengganti nama sepertiku. Berbeda dengan dulu yang cukup menambah kata "anak dari" lalu nama ayah, kami gunakan nama belakang yang sama.

Dad kembali bertanya. "Halo, Akram, ada ayahmu?"

Dari matanya, aku tahu ia sedikit terkejut. Barangkali karena mungkin dia belum pernah mendengar kenalan ayahnya.

"Ya." Akram buka pintu sepenuhnya. "Silakan masuk."

Akram memakai baju serba hitam seperti ayahnya, barangkali karena ditakdirkan menjadi penerus keluarga selanjutnya. Karena hanya dia seorang anak lelaki di keluarga itu.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang