✳️ 4 : Kekuatan dari Dewa - 10 ✳️

90 20 2
                                    

"Ezekiel!" Jeritanku menggema.

Tidak ada balasan selain suara gema dariku.

Rumah ini hanya terdiri dari lapisan es yang begitu tebal hingga nyaris tidak terlihat bagian dalamnya. Padahal aku dengar dari Ascella kalau ini hanya rumah seseorang yang telah dibekukan.

"Ezekiel!" seruku lagi.

Lagi-lagi, gema yang menjawab.

Safir yang terlebih dahulu masuk kini tampak mulai bosan mendengar panggilanku yang tidak kunjung membuahkan hasil.

"Kalau begini terus tidak ada kemajuan," ujarnya. "Aku akan mencari target kita!"

"Tunggu, Safir!" Belum selesai ucapanku, dia pergi dan menghilang di balik bayangan. Sama persis seperti gelarnya, Safir sang Bayangan.

Aku menahan napas. Memang benar kata Safir, tidak berguna menyeru nama kalau orangnya saja tidak akan merespons. Namun, aku tidak akan menyerah.

"Ezekiel!" jeritku sekuat tenaga.

Suaraku menggema, menyeru nama yang sama.

"Putri," tegur Darren. "Biarkan."

"Kenapa?" tanyaku spontan.

"Dia tahu apa yang harus dilakukan," ujarnya. "Kita di sini hanya memastikan semua berjalan dengan lancar."

"Ada apa memangnya?" tanyaku.

Darren tidak menjawab. Dia menatap sekeliling yang hanya terdiri dari warna biru dan putih, memantulkan bayangan seperti cermin, layaknya kaca yang menyatu.

"Benar-benar tidak terduga," ujar Darren. "Gue kira dia cuma membekukan satu-dua orang di sini."

"Makanya," sahutku. "Itulah mengapa aku ingin masuk dan menegurnya."

"Putri, ada saatnya menegur," tegur Darren. "Sekarang dia enggak bakal dengar."

"Tapi, bukannya selama ini kalian bertindak sesuai kehendak sendiri?" sahutku. "Itu tidak selamanya baik, 'kan?"

"Kami lebih tahu."

Sebaris kalimat yang keluar dari mulutnya spontan membuatku bungkam. Memang itu kalimat yang klise digunakan oleh orang yang lebih tua, terutama para Guardian selama ini. Aku ingin membantah tapi tidak punya argumen selain ingin tetap mencari Ezekiel, bukan untuk menegur, melainkan hanya sekadar memastikan dia aman di sana.

Tampak tidak mau menungguku merenung, Darren melangkah kembali mendekati pintu utama yang masih terbuka lebar akibat membeku dan setiap bagian dari pintu itu telah menyatu dengan dinding sekitar.

Darren mendekat ke arah Ascella yang dibekukan. Dia menatap lelaki itu kemudian berjalan ke arah lain seakan hanya memandangi sebuah patung. Menginggatkanku waktu kali pertama ke Kota Saghra bersama Mariam.

"Darren!" panggilku. "Tolong bebaskan dia!"

Jika memberi perintah langsung saja belum tentu dikabulkan, semoga saja dengan meminta tolong agar terkesan sopan cukup menggetarkan hatinya.

Darren berhenti untuk menatapku. Dia tampak mendengarkan namun tidak merespons permintaanku.

"Dengan api biru, sepertinya es akan meleleh dan dia bisa bebas," lanjutku sambil menyentuh es yang menyegel Ascella.

"Gue enggak bisa menjamin," balas Darren. "Tapi, apinya memang bisa melelehkan. Cuma, kita enggak punya banyak waktu."

Aku mulai protes. "Kita bisa tinggalkan apinya di sini–tunggu, Ascella malah terbakar."

Darren langsung membalas. "Nah, situ tahu."

Duhai!

"Lalu, bagaimana?" Aku mulai kehabisan ide.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang