« Ascella »
Aku tidak menyangka ini akhir dari kisahku. Mengira jika waktu yang berlalu ini semakin dekat menuju hari di mana aku akan dieksekusi, seperti kakakku. Aku yakin Kakak sudah tewas. Satu-satunya anggota keluargaku, harapanku, kini telah tiada. Kini aku sendiri di lautan dalam, di negeri yang jelas tidak ingin menerimaku. Dalam kurungan ini, aku merasa seperti tahanan yang menunggu hari kematianku, di mana dia pada akhirnya akan dihabisi karena kejahatannya. Namun, aku tidak tahu pasti apa yang kuperbuat. Selama ini, aku hanya ingin menyelamatkan Kakak. Gagal, ujungnya malah dikurung dan aku yakin sebentar lagi akan menyusul Kakak di keabadian nanti.
Dalam lautan ini, memang banyak pemandangan indah yang bisa dilihat melalui lubang sekecil bola mata, tapi dunia tanpa harapan rasa tiada gunanya. Aku ingin keluar dari sini, atau barangkali menghilang saja daripada menanggung beban ini. Aku mungkin bisa hidup di daratan dan memulai hidup baru, tapi tanpa siapa pun menemani, aku merasa hampa.
Terdengar suara gerbang terbuka, aku tidak yakin dari mana pembatas itu terbuat. Besi? Marmer? Tidak, ini seperti sesuatu yang lain. Mungkin berbatuan biasa yang terletak di laut guna mengurungku dengan biaya yang rendah. Mengingat betapa rendahnya aku di mata mereka. Mereka bahkan tidak menganggapku setara karena sihirku yang lemah, bahkan mungkin Thalia saja akan menertawakanku. Aku tidak tahu pasti kekuatan sihir gadis itu sampai pria seperti Sylvester tertarik padanya. Mungkin juga di sini Thalia akan dihargai, tidak sepertiku. Mengapa begitu? Aku tidak tahu. Barangkali memang di dunia yang penuh sihir ini menyimpan lebih banyak keanehan dari yang kukira.
"Putra penyihir." Orang itu datang lagi, adik dari sosok yang bernama Tirta itu. Kali ini dia datang bersama seorang pelayan. Pakaian yang dia kenakan masih sama dengan hari-hari sebelumnya, baju zirah. Tampak aneh–tidak, semua penghuni lautan ini memang aneh.
Pelayan di sampingnya itu memiliki ekor ikan dari bagian punggung hingga kaki seperti sebagian penduduk kerajaan laut ini. Sepertinya hanya golongan ningrat yang memiliki kaki. Pelayan itu membawa mangkok berisi sesuatu menyerupai kacang yang dihaluskan. Membuatku tidak berselera.
"Makanlah," ujar pria itu.
"Tidak mau!" Aku tepis tangan pelayan itu.
Makanan itu melayang ketika kutepis, aku lupa kalau masih berada di dalam air. Membuat pemandangan aneh ketika makanan yang tumpah justru mulai memenuhi udara–atau air lebih tepatnya. Tersebar perlahan hingga menciptakan suatu pembatas semu antara kami.
Kulihat pria berkaki itu tidak bereaksi akan sikapku, sementara sang pelayan mulai mengembalikan makanan yang melayang itu kembali ke wadahnya dalam diam. Mereka semua makhluk yang aneh, pasti akrab dengan Thalia.
Pelayan itu lalu mengulurkan tangannya yang memegang semangkok kacang itu padaku.
"Jangan ditawarkan lagi!" tegur pria itu dengan nada netral.
"Baik, Pangeran." Pelayan itu lalu mundur tapi masih sejarak satu langkah dari tuannya.
Ah, kalau dia Pangeran, sudah pasti si Tirta ini juga sang putra mahkota karena kudengar orang tuanya masih hidup dan mungkin belum mau turun dari takhta.
Melihat wajah sang pangeran itu sudah membuatku muak. Apa kemauannya itu tidak jelas dan aku tentu tidak ingin terlibat dengan segala urusan seperti ini lagi. Kakak sudah tiada, tak ada gunanya lagi bagiku dan segala hal berbau sihir telah membuatku dendam.
"Habisi saja aku. Kalian ambil segalanya dariku, kenapa tidak sekalian nyawaku?" ucapku sambil menatap tajam mata biru sang pangeran.
"Begitu putus asanya dirimu?" sahut pria itu dengan nada jengkel. "Abang sudah berbaik hati menyuruhku membawa makanan untukmu dan ini balasannya?"
"Aku tidak minta semua ini!" balasku. "Aku hanya ingin Kakak kembali, tapi kalian bunuh dia!"
"Jin itu–" Sebelum pria itu selesai, aku langsung menepis ucapannya.
"Bilang saja kalian membenci kami!" Hatiku terasa terbakar saat mengucapkannya. "Aku tidak ingin berurusan dengan kalian. Aku ingin pulang saja!"
"Pulang saja," sahut pria itu. Dia bahkan terdengar tidak peduli.
Aku geram. "Mau apa kalian?"
"Kami hanya melaksanakan kewajiban," katanya. "Abang sudah menyelesaikan tugasnya di sini, sekarang tugas kami mengurusmu."
"Aku?" Tentu saja aku tidak mau percaya. Kakak saja mereka habisi, apalagi aku yang lebih lemah.
"Bagaimanapun, kau juga berhak hidup," ujarnya. "Kakakmu sudah menyelesaikan kisah hidupnya, jadi sekarang giliranmu melanjutkan kisahmu."
Aku diam saja. Tidak mampu berpikir lagi. Entah apa niat mereka dan tidak jelas pula tujuan mereka melakukan semua ini. Mereka menyuruhku untuk melanjutkan hidup. Kenapa? Ada niat lain pastinya terselubung dari kalimat manis tadi. Aku yakin mereka ingin memanfaatkanku kelak, makanya mereka coba berbaik hati padaku agar aku tetap patuh.
Jangan bilang, ini yang mereka lakukan terhadap Thalia. Gadis itu mengira dia dilindungi karena mereka menyayanginya, padahal pasti ada niat terselubung di balik kebaikan itu. Tidak, Thalia tidak boleh jadi korban. Kalau aku sudah terlebih dahulu merasakan sakit ini, maka Thalia tidak boleh merasakan derita yang sama.
Thalia, kalau kita bertemu kembali, aku ingin kau tahu jika ...
"Aku beri kau waktu sampai siang ini untuk berpikir. Kalau tidak ada respons, aku kembalikan ke daratan tanpa jaminan. Jika kau setuju, kau akan menjadi warga Nedai baru dan hidup seperti kami. Putuskan segera." Pria itu lalu berpaling dan pergi bersama pelayannya.
Aku terdiam, memandangi pemandangan laut dari balik jendela. Memutuskan arah mana hidupku setelah ini.
Jika benar mereka akan menjadikanku warga dari negeri air ini, apakah ini akan membuat hidupku membaik? Tiada yang tahu pasti, barangkali ya atau justru tidak. Namun, aku tidak akan tahu jika tidak mencoba, kalau saja semua ini tidak terjadi setelah tragedi itu, aku pasti bakal lebih cepat memutuskan.
Namun, aku punya hak untuk memilih dan aku harus tahu untuk memilih apa. Kalau ini bisa mengubah takdirku menjadi apa yang kuinginkan, maka sudah bulat tekadku dan aku akan berusaha mencapainya. Impian dan harapanku telah dihancurkan, kini aku harus bangkit dan meraih kembali apa yang telah dirampas dariku.
Demi dia, akan kupilih ...Hmmm penutup manis dari sudut pandang karakter lain. Bagaimana menurut kalian? Apa yang akan terjadi pada Ascella nanti? Apa yang akan terjadi setelahnya? Kita lihat saja nanti.
Sampai jumpa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...