"Ezekiel!" Tidak peduli lagi dengan nama samaran, aku terus menyeru. Memastikan bahwa Guardian-ku masih di sana. Aku coba mencarinya menggunakan kalungku. Kalungku sama sekali tidak bersinar, tanda dia sudah begitu jauh.
Meski dunia tampak gelap karena sudah malam, namun tetap saja terasa janggal lantaran kegelapan ini seperti menyegel kota ini. Aku hampir tidak bisa melihat dalam jarak jauh, hanya mengandalkan firasat dan sedikit cahaya kalungku.
Aku kembali menyeru. "Ezekiel!"
Tidak ada yang membalas.
Wuuussshhh ...!
Aku merasakan dorongan, ternyata dari badai yang menyeruak dari depan. Dunia terasa terguling. Terhentak dan berputar beberapa saat hingga jatuh ke tanah yang begitu dingin. Sekujur badan terasa nyeri dan membeku ketika kulit menyentuh tanah es.
Aku langsung berlutut sambil memeluk diri yang menggigil lalu mencoba mengedarkan pandangan yang tadinya gelap. Kepala terasa pusing akibatnya, tapi aku berhasil pulih sesaat dan menatap sekitar untuk beberapa kalinya. Lagi-lagi, hampir tidak ada yang bisa kulihat dari jarak jauh selain kegelapan.
Di mana Ezekiel?
Begitu hendak berdiri, aku disambut oleh pasir-pasir putih dengan ujung runcing yang dingin. Untungnya aku berhasil menunduk hingga benda itu melaluiku begitu saja, meski beberapa helai rambutku terkena. Hanya desiran angin menyertai.
Aku tidak bisa melihat lebih jauh lagi. Tidak bisa berbuat banyak hingga berlalunya badai. Pandanganku tersapu oleh badai salju yang menusuk hingga ke tulang. Aku terus memeluk diri, memastikan agar tidak membeku. Ini badai salju yang tiba-tiba muncul di tengah musim panas tanpa musim lain mendahului. Bahkan dinginnya melebihi apa yang kubayangkan. Meski demikian, aku merasa beruntung tidak membeku.
Badai mulai menyapu sekitar, tapi aku merasa seakan dilewati badai itu sendiri, hanya merasakan hawa dingin yang menusuk. Begitu menyempatkan diri melihat sekitar, yang kulihat laksana Kyrvec yang kukira hanya sebatas dongeng lama. Seperti tempat Azya dilahirkan dan dibesarkan. Ini negeri salju.
Lalu, aku teringat dengan ucapan wanita tadi. "Dia belum tentu bisa mengendalikan. Bahkan bisa membekukan satu kota, pernah waktu itu, sekitar satu dekade lalu. Dia membekukan setengah dari kota ini. Meski beberapa jam kemudian keadaan kembali normal, kami tidak bisa tenang setelahnya. Dikendalikan amarah dan letih, ia gunakan tenaga yang tersisa untuk melawan musuhnya, seekor jin aneh yang merasuki raga wali kota kami. Meski berhasil mengusir jin itu, ia tidak bisa mencegah pembekuan sampai menunggu es meleleh."
Sebesar itukah kekuatan Ezekiel?
Tunggu, ke mana Safir? Bukannya tadi dia bersamaku? Apa dia diam-diam pergi mendampingi Ezekiel?
Aku hendak berbalik ke tempatku berada, tapi semua terlambat lantaran aku terjebak di tengah badai salju dan dikelilingi tempat yang kini tidak berbentuk lagi karena telah membeku. Aku harus mencari Ezekiel. Dia bertanggungjawab atas semua ini.
Badai perlahan berhenti. Pasir-pasir dingin dan menusuk itu kian sedikit, membuatku akhirnya bisa lebih leluasa bergerak. Begitu pandanganku kembali jernih, yang kulihat hanya es yang melapisi setiap rumah dan benda. Begitu tebal hingga tidak terlihat dalamnya lagi. Semua bagaikan dikutuk menjadi batu.
Aku pandangi sekeliling. Tidak ada tanda kehidupan. Ke mana semua orang? Apa mereka sudah aman? Dari cerita si Barista, sepertinya mereka akan belajar dari pengalaman. Kuharap penduduk kota Adrus saat ini dalam kondisi aman.
Aku meneruskan langkah, mencoba mencari Guardian-ku bagaimanapun juga.
"Eh?!" Aku nyaris tergelincir. Es yang melapisi tanah seakan benar-benar menjadikan tempat ini layaknya Kyrvec sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...