✳️ 2 : Pemburu Sihir - 9 ✳️

126 21 2
                                    

"Putri." Ezekiel memanggil.

"Ya?" balasku.

"Dari Ascella, ya?" tanyanya.

"Iya," jawabku singkat, masih fokus membaca.

Barulah kusadari, ada bayangan tinggi selama ini berada di belakangku, tertanda dia berdiri sejak tadi dan menunggu.

Dan itu jelas membuat tanganku tanpa disadari mendekatkan surat itu padanya.

Ezekiel membaca surat itu tepat ketika aku mendekatkannya. Dia di tampak fokus membaca.

Mata birunya tampak gelap layaknya jurang tanpa dasar. Dia tidak bicara selama beberapa saat seakan sedang menahan diri untuk tidak berucap sesuatu yang tidak sepantasnya. Matanya terus menyusuri kata demi kata hingga ke bagian akhir surat.

Aku hanya bisa melihat bagian luar dan menafsirkan sendiri. Semua yang kulihat akan kucoba pahami sendiri baru kemudian melihat kenyataannya nanti. Saat itu, aku hanya menyakini kalau Ezekiel cemburu setelah membaca surat itu.

"Dia? Mengajak lo?" Ezekiel mengangkat sebelah alis, dia tersenyum mengejek. "Mana bisa!"

Aku tahu betapa marahnya dia waktu itu. Dari nada suaranya mungkin masih terkesan merendahkan, tapi aku tahu ada kobaran api di hatinya ketika mengucapkan kalimat tadi. Maka dari itu, aku tutup suratnya tanpa ada niat membalas.

"Sini, serahkan suratnya!" Ezekiel mengulurkan tangan.

Tanpa ragu, aku serahkan. Toh, tidak terpakai juga.

Aneh sekali jika Ezekiel mau menyimpan surat cinta itu untuk dirinya. Tapi, sekarang sudah kulihat dan aku yakin betul jika Ezekiel masih menyimpan suratnya entah di mana. Saat menceritakan tentang kisah ini, kulihat dia masih menyimpan surat itu di kantong celana. Entah untuk diapakan.

"Mau diapakan?" Aku pun bertanya.

"Buat barang bukti," ujar Ezekiel. "Nah, Putri. Lo hati-hati di rumah sama Safir, ya."

"Mau ke mana?" tanyaku.

"Jalan-jalan sebentar."

***

Sepanjang siang kuhabiskan dengan berkeliling di rumah Ezekiel. Orang yang kucari, Safir, belum juga muncul. Niat hendak mengundang Darren, tapi tidak tahu alamat rumahnya. Semua orang sepertinya sibuk hari ini.

Rumah Ezekiel memang luas dan terlihat jelas ada banyak pintu menembus entah ke mana. Begitu disentuh ganggang pintu, malah terkunci. Sudah pasti ini ruang rahasia entah dipakai untuk apa. Ada hampir lebih dari sepuluh pintu yang kujumpai di rumah ini, belum lagi di rubanah maupun lantai atas yang tidak juga ditemukan tangganya. Rumah dengan konsep sederhana tapi isinya ruwet, seperti karakter sang penghuni. Ya, rumah memang cerminan penghuninya. Dan aku masih belum bisa menemukan sisi sesungguhnya meski sudah bersama selama lebih dari seminggu.

Mataku tertuju pada sebuah sudut rumah. Setelah beberapa kali berkeliling, akhirnya ketemu juga tangga. Entah kenapa, bayangan rumah Evergreen kembali menghantui.

Aku tahu Evergreen mengambil jiwa para pelindungku agar bisa mengelabui kalungku. Tetapi, sekarang aku benar-benar tidak bisa membedakan mana Guardian yang asli dan palsu. Tapi, aku percaya pada Ezekiel dan Darren, karena Safir juga tidak terlihat keberatan apalagi melawan.

Lantas ...

Apa maksud surat Ascella? Kenapa dia mau membawaku kabur? Ada apa dengannya?

Sungguh aneh di usia begini aku harus dibawa pergi seakan cintaku ditolak keluarga dan terpaksa nikah lari. Aku memang pernah merasa sangat menyayangi seseorang, tapi belum pernah berpikir untuk menikahi mereka, apalagi yang baru dikenal seperti Ascella–

Tunggu, di suratnya tadi dia seakan tahu aku. Lantas, kenapa dia menunggu? Ada apa ini sebenarnya?

Memikirkan ini membuatku resah, apalagi jika tidak meragukan keputusan Ascella. Tidak terbayang jadinya jika aku justru memilih dia ketimbang Ezekiel maupun Darren.

Aku menatap sekeliling, barulah memberanikan diri naik ke tangga itu secara perlahan. Cahaya ruangan memang agak remang sehingga aku harus memerhatikan setiap langkah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sejauh hidup di sini, aku tidak merasa aman maupun dalam bahaya di saat yang sama. Memang ada Guardian di sisiku, tapi aku juga berpikir mereka juga berusaha menyembunyikan sesuatu dariku.

Andai ada Mariam, seseorang yang paling kupercayai saat ini, mungkin akan kutanyakan perihal siapa pun yang baru aku kenali untuk memastikan. Dia mungkin tidak tahu banyak, tapi aku yakin Mariam memiliki intuisi lebih tajam dariku.

Di bagian atas rumah terdapat gudang. Berbeda dari dugaan, ternyata masih bersih dan tidak begitu berdebu maupun gelap. Masih ada penerangan dari sinar matahari menembus ke sini, begitu terangnya hingga aku tidak merasa takut ketika menjelajah.

Gudang ini terdiri dari beragam peti yang begitu besar dan tampak penuh. Dengan konyolnya kucoba membuka beberapa tapi tentu saja terkunci. Hendak mencoba dengan jepit rambut tapi tidak punya. Mariam pun tidak pernah memakai. Tapi, apa Safir pernah? Aduh, di mana wanita itu?

"Oi, Kyara!"

Aku terkejut mendengar Safir menyeru namaku.

"Safir!" Aku menyahut.

"Sedang apa kau?" tanyanya. Perlahan, kudengar suara langkah kaki di tangga. "Jangan coba-coba merusak!"

"Aku bukan bocah lagi!" balasku. "Memangnya sejak kapan aku senakal itu?"

Ternyata benar, peti-peti ini memang berisi benda berharga entah milik Ezekiel pribadi atau leluhurnya.

Safir akhirnya muncul. Dia masih mengenakan piama biru dan menatapku kesal. Tampaknya aku menganggu tidur siang rubah manis ini.

"Kalau tidak penting, sebaiknya kembali!" Safir menunjuk ke belakang, jelas mengusir.

Aku pun menurut meski penasaran dengan peti itu. "Akan kutanya Ezekiel."

"Terserah."

Safir pun menuntunku kembali ke bawah tanpa mengunci pintu gudang itu, toh tempatnya begitu terpencil hingga aku saja belum tentu ingat rutenya.

"Safir pernah mencoba membuka peti itu?" ujarku kepo. Siapa tahu Ezekiel pernah memercayakan Safir untuk memeriksa barang berharganya.

"Pernah," jawab Safir. "Tidak ada yang penting. Isinya buku tebal dan lukisan kecil berupa keluarganya yang lawas."

Begitu.

Safir berdiri menatapku tanpa reaksi apa pun. Entah kenapa tatapan seperti itu membuatku merasa kepergok meski tidak bersalah.

"Ada yang datang," kata Safir.

Saat itulah jantungku berdebar. Entah takut atau gugup.

Muncul kabut kehitaman menutupi pandangan, tapi aku masih bisa melihat Safir dengan tenang berdiri. Aku kenal kekuatan ini, maka dari itu, sama seperti Safir, aku memilih diam dan menunggu.

Butuh waktu beberapa saat bagi kabut kecil-kecilan ini perlahan mengikis hingga menyisakan sosok yang lebih tinggi dariku berdiri menengahi aku dan Safir.

Sosok itu datang sambil membawa sebuah kotak sedang, bentuknya seperti wadah untuk sepatu alih-alih benda penting seperti peti yang biasa kubayangkan. Anehnya, dia tidak bicara selama beberapa saat. Bahkan Safir pun hanya diam memandangi punggung pria yang menghadap ke arahku.

Sangat canggung.

"Paket," ucapnya tanpa intonasi sambil menyerahkan kotak itu kepadaku.

Bukannya menerima, aku justru fokus menatapnya.

Dia mengenakan pakaian serba hitam selaras dengan rupanya. Rambut dan mata hitam sementara kulit pucat. Wajahnya cukup keras seakan tidak menunjukkan emosi, tapi di sisi lain seperti bosan menjalani hidup.

Aku kenal dia dan dia jelas kenal aku.

Satu-satunya putra Wynter, sekaligus pewaris tunggal kekuatan ayahnya.

"Akram?"

Halo, sudah sampai nih di bagian akhir bab. Masih santai? Yup, harus santai dulu dong sebelum anu.

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang