✳️ 3 : Keluarga Wynter, Lagi - 4 ✳️

105 20 2
                                    

Aku tersentak. Berusaha tenang meski jelas mendengar suara itu.

Safir diam, menatap pintu yang menghubungkan rubanah ini dengan ruang luar.

Aku tidak ingin serta-merta menunjukkan diri. Suara itu memang familier. Itu suara seseorang yang kukenal. Tapi, di sisi lain berbeda dari yang aku ingat.

"Kau sembunyi!" bisik Safir.

Aku berusaha mencari tempat persembunyian di ruang ini. Hanya meja ini yang bisa melindungi. Maka, aku masuk saja ke bagian bawah meja.

Safir melangkah menuju pintu itu lalu membukanya. "Oh, kau rupanya."

"Di mana Putri?"

Mataku terbalak melihat kaki sosom itu melangkah turun dari tangga penghubung, perlahan mendekat ke meja. Aku ternganga melihat sosok itu.

"Hei, enggak ada orang di sini?" Dia kembali bicara seakan mengabaikan sosok Safir bersandar di antara dinding.

"Ezekiel!" Aku menyambutnya sambil perlahan keluar dan berdiri. "Mana Darren?"

"Lah, justru gue ke sini buat nanya," sahut Ezekiel.

"Lah?" Aku malah protes. "Kukira kamu segera ke tempat kejadian."

"Gue cari ke sana tadi, bukannya nemu mereka malah yang ada sisa abu sama kayu gosong," balas Ezekiel. "Jauh amat mereka mengejar."

"Cari?" saran Safir.

Safir tentu saja tidak bisa membiarkan semua orang yang terlibat hilang begitu saja. Apalagi mereka pasti memberikan informasi penting nanti, terlebih Ascella yang tidak jelas motif dan keberadaannya sekarang.

"Nanti." Ezekiel kemudian merangkul aku. "Kita pulang, cari besok saja."

"Kenapa?" heranku. "Pertempuran masih dimulai beberapa waktu lalu, kenapa tidak coba cari?"

"Gue yakin Darren tahu apa yang dia lakukan," jawabnya. "Ah, mending gue ikut wawancara dari mereka, deh."

"Mereka?" beoku.

"Para pemadam kebakaran." Ezekiel tersenyum, tampak tersirat maksud lain dari situ dan aku tahu ini tidak bagus. "Pas masuk ke sini tadi, karena disorot terus, berasa jadi malaikat."

"Malaikat maut." Safir menyahut.

Ezekiel mengabaikannya. "Jadi, Putri mau menunggu gue atau langsung pulang?"

Entah kenapa, waktu itu aku justru memilih yang tidak kusukai. "Menunggumu."

Safir ternganga, tentu saja dia bingung dengan keputusanku. Dia dan aku saat itu seperti satu pemikiran. Ingin segera pergi dari sini dan menghindari masalah sebanyak mungkin.

"Ayo gerak!" Ezekiel mempererat rangkulannya, membuatku terseret mengkuti dia.

Kami melangkah keluar dari rubanah. Tepat di atas sana terlihat para penyihir berpakaian serba biru menatap kami. Semua memakai baju yang tertutup dan tentu saja tahan api. Mereka itu yang tadi berusaha memadamkan api. Tidak tampak senyuman dari wajah mereka apalagi sampai mau menyapa duluan. Tentu saja setelahnya ada yang bersedia angkat bicara.

"Hai, semua!" sapa Ezekiel dengan nada ramah. "Sudah siap?"

"Kami hanya ingin mengajukan pertanyaan," ujar salah seorang dari mereka. Terdengar tidak ada semangat, jelas mereka antara kewalahan atau terbiasa dengan keadaan tadi, atau justru keduanya sekaligus.

"Silakan." Ezekiel kemudian mengikuti mereka. Dia masih merangkulku di sisinya dan aku tidak sanggup melepaskan diri.

Kami semua dipersilakan duduk di lantai berlapis kayu, letaknya hanya beberapa langkah dari pijakan tadi. Berarti percakapan ini tidak akan dirahasiakan mengingat ada banyak orang di tempat ini.

"Kami dengar laporan ada penyihir api lain di kota," ujar seorang wanita di antara mereka. Dia memiliki manik biru dengan rambut hitam, seperti rata-rata warga Arosia yang bermata biru. "Tapi, salah satunya sudah kami percayai, Dash. Namun, sekarang dia sibuk bersama penyihir baru itu."

Bahkan di kota sendiri para Guardian kemungkinan besar akan menyembunyikan nama. Entah kenapa. Ya, memang tujuannya demi mengecoh lawan, tapi apa semua orang di luar anggota itu lawan?

"Betul," jawab Ezekiel. "Sebenarnya penyihir kemarin 'kan, namanya River tapi kemudian ganti nama lagi jadi Ascella. Mencoba jadi misterius kayaknya. Dia pasti ada hubungan erat dengan Helia Malre. Ah, tunggu. Itu kakak dia, sih. Keduanya sama-sama penyihir api. Sang adik sudah Darren atasin. Ngomong-ngomong, di sini panas banget. Ada kipas?"

Mereka memberinya koran dan Ezekiel memakainya sebagai kipas. Dia hentikan ceritanya sampai di situ. Disampaikan begitu cepat tapi aku mengerti intinya. Dia bicara seperti bergosip saja.

"Kalian sudah menemukan perkembangan?" tanya wanita itu.

Aku dan Safir duduk di kursi panjang sementara Ezekiel di depan menghadap langsung dengan wanita itu. Ruangan ini dipenuhi oleh pemadam kebakaran.

"Iya. Gue dapat info alamat rumah kakaknya Ascella, tapi bukan kakaknya banget." Ezekiel kemudian menuliskan sesuatu di selembar kertas yang disediakan.

"Bukan kakaknya banget?" Wanita itu mengerutkan kening. "Kakak tiri? Angkat?"

"Badannya kerasukan jin Iziz az-Zibaq," jawab Ezekiel. Dia kemudian menoleh ke belakang dan menunjuk. "Eh, itu ada si pembawa surat di balik pintu."

Tanpa ragu, salah satu dari mereka membukakan pintu yang tadinya tidak diketuk sama sekali. Muncul seorang lelaki berambut pirang serta manik yang sama masuk membawa sebuah amplop.

"Kamu ingat saya?" tanya kurir itu kepada Ezekiel. Terdengar kagum karena tahu keberadannya, padahal dia tidak mengetuk pintu dari tadi.

"Enggak." Ezekiel mengucapkannya dengan senyuman, tidak terkesan peduli sama sekali.

Orang itu menyerahkan amplop kemudian pamit.

Kalungku yang masih bersinar, terlihat jelas dari kejauhan.

Ketika kurir itu hendak keluar, dia sempat menatap aku dan kalung ini. Dia begitu murung, bibirnya bergerak seolah mengucapkan sesuatu sebelum benar-benar menutup pintu.

Aku hendak berdiri mengejar, tapi Safir menahanku.

"Jadi, jadi selama ini Helia dirasuki jin?" tanya wanita.

"Betul!" Ezekiel mengiakan. "Dia memang begitu, suka banget makai badan orang."

"Bagaimana cara mengalahkannya?" tanya dia.

"Mudah, jika lo bangsawan jin," jawab Ezekiel. "Tapi, gue juga bisa, cuma waktu itu enggak enak hati."

Bilang saja mau melawan kalau jin itu menyerangku.

"Begitu." Wanita itu mengalihkan perhatian padaku. "Ini kekasihmu?"

Jantungku berdegup kencang, pertanyaan paling memalukan saat ini.

Aku yakin Ezekiel tersenyum penuh percaya diri saat mengucapkan ini. "Enggak usah kepo, deh."

Safir menjulurkan lidah, tampak jijik.

Aku tahu ini hanya sandiwara, tapi akting Ezekiel terlalu menghayati.

"Okay, gue sudah bosan, jadi pamit dulu." Ezekiel serta merta berdiri. "Kalo ada apa, kasih tahu saja. Gue cepat tanggap, kok. Dah."

Hanya dengan begitu, kami pulang.

***

Ezekiel berbaring di kasurnya. Dia menyuruh kami ikut ke kamarnya dan mengizinkan kami makan di sana. Camilan yang disediakan berasal dari meja tadi dan untungnya tidak basi setelah sekian lama tidak disentuh.

"Ascella kabur, mereka mengejar," ujar Ezekiel, kali ini terdengar serius.

"Ke mana keluarga Wynter?" tanyaku.

"Sesuai kesepakatan, mengejar Ascella ditemani Darren," jawab Ezekiel. "Sementara kita bakal jemput Khidir."

"Di mana?" tanyaku.

Ezekiel pun memberitahu alamatnya. "Kalian makan aja. Gue lagi malas gerak." Dia pun memutar tubuh lalu tidur.

Wah, ini bab yang dipublish di hari yang sama dengan bab sebelumnya dan berikutnya. Yuk, lanjut baca!

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang