Kota Adrus, seperti yang kujelaskan sebelumnya, tidak beda jauh dibandingkan Ezilis. Beberapa warga yang kulihat lebih tampak seperti manusia ketimbang yang di Aibarab. Sebagian besar berkulit pucat dan kebanyakan lebih rendah dari rata-rata orang Aibarab. Meski demikian, aku yakin kekuatan sihir mereka tidak kalah dari masyarakat yang biasa kulihat.
Sambil menggenggam tas kecilku, aku menyusuri jalanan seorang diri. Baru kali ini aku benar-benar sendirian tanpa dikawal. Memang ini merupakan pengalaman langka, tapi aku kurang nyaman apalagi jika berada di tempat asing.
Dari segi penampilan, aku memang seperti kebanyakan orang. Tapi, masih lemah di sihir. Meski sudah hidup berdampingan dengan makhluk sihir pun aku masih tidak bisa. Kecuali ilmu perdukunan yang takut diterapkan karena kebanyakan berurusan dengan jin atau iblis yang pada dasarnya musuh kami. Kecuali Zahra tentunya.
Para warga di sini, untungnya, tidak menatapku terlalu lama melainkan sekilas. Mereka antara tidak tahu jika aku pendatang atau justru tahu tapi memilih mengabaikan. Kalau saja ada yang menyeru, bisa gawat.
Jalanan tidak terlalu becek maupun kering sehingga sepatuku aman dan jalan pun nyaman. Cuaca juga tampak mendung seperti ciri khas cuaca di Ezilis. Barangkali di belahan dunia lain bakal lebih dingin atau justru lebih panas dibandingkan negeri kelahiranku.
Saat aku melangkah, aku menyadari pemandangan janggal. Dari kejauhan tampak gerombolan wanita dengan penampilan sederhana, duduk berjejeran. Mereka tersenyum pada beberapa pria yang melintas, malah sebagian tampak genit sehingga sukses memancing beberapa pria mendekat dan menyentuhnya.
Aku lantas mengalihkan pandangan. Memang bukan hal janggal lagi karema di Aibarab ada juga yang begitu, tapi aku masih tidak terbiasa melihat. Apalagi fakta salah satu di antara wanita itu merupakan wanita yang pernah menemani Ezekiel.
Fokus, jangan lengah. Aku harus maju, memastikan semua sesuai dengan yang diharapkan.
Ketika mengedarkan pandangan, mataku menangkap bayangan sosok yang dicari, sesuai rencana.
Mengikuti alur, aku langsung mencari arah lain dengan berbelok ke sebelah kiri jalanan yang kini dipenuhi beberapa pejalan kaki.
Berbeda dengan Aibarab, di sini tidak ada pasar. Meski kucari beberapa meter kemudian, tetap tidak ada. Barangkali pusat perbelanjaannya berada di suatu tempat yang hanya diketahui penduduk itu sendiri.
"Permisi."
Aku menahan diri agar tidak terlihat kaget meski jelas mendengar suara yang asing. Perlahan membalikan badan dan mencoba memberanikan diri menatap sumber suara.
Kulihat seorang lelaki tampak sebaya denganku. Dia memiliki rambut segelap malam dengan sedikit warna jingga pucat di bagian bawah rambutnya seakan menunjukkan gambar waktu fajar. Matanya juga demikian, tapi hanya gelap tanpa hiasan warna jingga tadi. Kulitnya juga pucat seperti penduduk sekitar serta tingginya setara denganku.
Tunggu, itu River!
"Ya, ada apa?" Aku berusaha ramah, meski merasa yakin siapa lelaki ini.
"Aku mendengar kabar tentangmu sebagai putri dari Aibarab," ujarnya, sedikit terbata, agak gemetar juga.
Dia seperti mata-mata yang takut ketahuan. Sedih sekali jika ketahuan olehku yang amatiran ini.
"Memangnya apa yang membuatmu mengira begitu?" tanyaku. Ini bagus agar dia ragu, pikirku.
"Kamu punya ciri-ciri yang sama dengannya, meski aku belum melihat langsung," jawabnya. "Rambut hijau, kulit kuning langsat, dan ... Cantik."
Meski dibilang cantik oleh para pelindungku, entah kenapa terasa aneh jika dipuji begitu oleh orang lain, terlebih yang tidak dikenal seperti dia. Dan kenapa dia bertingkah seakan tidak ingat apa-apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]
Fantasy| Guardian of Shan Season 3 | Akibat Zibaq, Kyara terlempar ke negeri asing dan nyaris ditelan kadal raksasa untuk sekian kalinya. Beruntung ada Guardian yang menyelamatkan, meski dia tidak kalah anehnya. Kyara pun hidup bersamanya di bawah nama sam...