✳️ 6 : Akhir Hayatnya - 1 ✳️

86 21 4
                                    

Ayah bilang, aku dan adikku dilahirkan dengan tujuan. Karena memang tidak ada kelahiran yang sia-sia.

Ayah bilang, suatu saat nanti kami akan menemukan sebuah negeri yang diimpikan. Tempat di mana kami dapat hidup tenteram dan bahagia bersama.

Ayah bilang, dengan mencapainya harus ada pengorbanan. Namun, apa gerangan?

***

« Kyara »

Sayup-sayup kudengar batinku seakan bicara padaku. Walau di saat yang sama, itu seperti bukan aku. Aku tahu itu, mengingat seperti itu suaraku saat ini, tapi di sisi lain ragu lantaran aku tidak tahu pasti "ayah" yang mana yang dimaksud.

Ayahku pada kelahiran ini tidak pernah kujumpai atau diingat, bahkan Ibu hampir tidak pernah membahasnya. Sementara ayah dari Shan hanya kukenal melalui kisah-kisah yang kudengar.

Kenapa ingatan ini datang di saat yang tidak tepat? Meski sementara, sukses membuat pikiranku kian kalut. Aku kira semua akan diketahui setelah Zibaq ditaklukkan. Namun, sepertinya ingatan ini akan muncul secara acak.

"Putri?" Zach terdengar cemas. Seakan dia menyadari apa yang kupikirkan saat ini.

Aku menatapnya. "Ya?"

"Kamu sepertinya mulai ingat," kata Zach yang mana membuat bulu kudukku meremang. "Tidak apa, kami akan membantu menjelaskan bila ada yang membuatmu bingung."

"Kamu ... Terlalu banyak tahu," ujarku. Ini sedikit menakutkan jika dia seakan bisa membaca pikiran.

"Putri, aku tidak dapat menebak dengan benar, jadi ceritalah jika perlu," ujarnya lagi.

"Kyara mulai ingat?" Khidir menyahut, suasana menjadi sedikit canggung. "Apa yang membuatnya ingat? Setelah sekian lama?"

"Mungkin karena melemahnya Zibaq," tebak Zach. "Siapa yang menyegel ingatan?"

"Itu Hiwaga." Khidir berucap pelan. "Setidaknya itu yang Mariam katakan. Setelah kematiannya, Mariam mengaku tidak mengingat apa pun di Shan."

"Tidak ingat?" Aku terdengar bingung. "Bukannya Mariam baru bergabung?"

"Dia baru bergabung setelah kelahiran kedua."

Jawaban dari Khidir membuatku terdiam. Selama ini Mariam bereinkarnasi layaknya Guardian lain, tapi dia hanya bergabung setelah kelahiran kedua. Apa mungkin dia terlibat dalam kejadian di Shan?

Baru hendak bertanya, dentuman keras mengguncang seisi tempat. Zach refleks mengangkatku hingga kami berdua dapat terbang sesaat agar tidak terguncang. Sementara Khidir tampak sudah bisa menyeimbangkan diri.

Muncul satu pemikiran dariku. Setelah sekian lama, aku mulai memberanikan diri bertanya. Apalagi perihal takdirku sebenarnya.

Aku langsung bersuara pada ara pelindungku. "Kalian ingat?"

Khidir membuka mulut, tapi suaranya tidak terdengar akibat dentuman keras yang bersahutan. Tidak, ini hanya serangan bertubi-tubi dari Ezekiel lengkap dengan duri es menyeruak hingga nyaris memenuhi seisi ruangan. Mengingatkanku pada kejadian di rumah Ascella. Namun, di saat itulah kudengar bisikan dari Zach yang memberiku sedikit gambaran kisah dari negeri Shan.

"Mariam adalah Hawa, adik dari Hiwaga yang tewas sebelum keruntuhan Shan."

Hawa ... Kenapa nama itu tidak asing? Apa aku pernah mendengarnya? Wynter. Sepertinya dia yang mengucapkan nama itu. Tapi, atas dasar apa? Dia waktu itu hanya ingin mengorek kebenaran dan setelah itu dia kemungkinan sudah tahu dan tidak terlihat perubahan sikapnya terhadap Mariam. Tunggu, Hawa itu adiknya Hiwaga? Apa berarti dia juga tante bagi dirinya sendiri? Semua kebingungan ini langsung membuatku bungkam. Tanpa kusadari bongkahan es besar jatuh ke arahku.

Ketika aku menoleh dan hendak menjauh, di situlah timbul patung es lain tampak menangkis bongkahan es tadi hingga mendarat di tanah. Barangkali itu hanya kebetulan mengingat Ezekiel senang menyerang secara beruntun, tapi ini terkesan terlalu aneh untuk suatu kebetulan. Bagaimana jika ...

Semua ini, terjadi di saat yang sama. Aku harus menahan diri agar tidak meledak akibat lonjakan informasi yang baru saja diterima. Semua ini butuh kejelasan secara perlahan untukku yang tidak mudah memahami.

Aduh, aku melantur!

"Awas!"

Seruan dari Khidir membuatku sadar. Aku dapat merasakan sesuatu hendak keluar dari tanah yang aku pijak. Es demi es menyeruak dari tanah. Pada saat yang sama Zach menarikku hingga kami terbang menjauh dari serangan bertubi tadi.

Begitu kami mendarat di sisi Khidir, dia langsung memeriksaku. Untuk sesaat dia diam sebelum kembali bicara. "Kita keluar dari sini! Kalau lambat, Kyara bisa terluka!"

Zach memelukku dari belakang dan dunia di sekeliling perlahan tampak berputar. Setelah beberapa saat, akhirnya penglihatanku kembali normal. Aku diletakkan di ruang terbuka, tempat di mana es mulai hampir tidak terlihat lagi kecuali istana es yang Ezekiel ciptakan.

Khidir berlari keluar dari sana dan langsung duduk di sisiku, terengah-engah sebelum kemudian menatap kembali ke belakang.

"Sepertinya akan berakhir." Zach melepaskanku dan dia mulai berdiri memandangi sekeliling.

Saat mengucapkannya, istana es perlahan tampak retak sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya runtuh dan meleleh begitu cepat. Padahal sebelumnya es-es ini tampak seakan kuat layaknya batu. Barulah aku tersadar kalau ini bisa jadi pertanda buruk.

Tampaknya tubuhku seakan bergerak sendiri ketika penglihatanku semakin dekat dan jelas. Reruntuhan istana es tadi kian meleleh hingga membentuk genangan air di bawah sinar matahari pada siang ini. Tiada yang mencegah bahkan Zach yang berada tepat di sisiku.

Aku melangkah semakin dekat menuju reruntuhan. "Ezekiel?" bisikku, memastikan dia masih di sana.

Di depanku terlihat Ezekiel berdiri sambil memegang kepala Helia atau Zibaq yang dalam posisi berlutut. Ezekiel lepaskan genggaman secara kasar seakan mendorong kepala itu. Raga Helia terdorong mundur hingga wanita itu terkapar di tanah.

"Kakak!" Ascella berjuang mendekati sang kakak meski sambil tertatih-tatih. Tubuhnya dipenuhi luka sementara tangan dia yang tergores sudah mulai mengering lukanya.

Ezekiel menjauh, membiarkan Ascella menghampiri kakaknya. Dia langsung duduk di tanah bersama es yang sudah meleleh.

"Ezekiel!" Aku mendekatinya dengan cemas. Meski tidak tampak luka serius darinya, aku tahu dia sudah cukup lama bertarung. Aku lalu duduk di depannya, memeriksa keadaan.

"Sumpah ini jin bebal banget!" Tidak sesuai dugaan, dia tetap menjawab dengan nada yang biasa dia ucapkan meski kali ini sambil mengeluh. "Gue kudu nakutin dia baru mau keluar!"

Aku diam saja, lebih tepatnya bingung mau membalas apa.

Kulihat Ascella tengah memeluk kakaknya yang tidak sadarkan diri. Air mata tidak dapat dia bendung lagi dan kudengar kata-kata yang keluar dari mulutnya tampak tercampur aduk dengan isak tangis. Namun, aku sedikit lega menemukan tanda kalau sang kakak selamat.

Ezekiel berbaring di sisiku layaknya seorang anak yang lelah habis bermain. Dia langsung terlelap dan tidak menghiraukan sekeliling. Meski tidak tampak luka di tubuhnya, aku tahu tenaganya terkuas banyak sejak beberapa hari terakhir. Belum lagi dia berhasil menaklukkan Zibaq seorang diri sesuai janjinya kepada Guardian lain. Dia benar-benar sudah membuktikan dirinya kepadaku maupun orang lain yang baru mengenalnya. Sekarang aku tinggal memahami sifatnya yang lain segera setelah dia bangun kembali.

Kudengar seruan Khidir dari kejauhan. Aku sahuti dengan lambaian, tanda bahwa kami baik-baik saja. Khidir dan Zach akhirnya maju, mereka sepertinya tidak ingin mendekat karena mungkin meragukan sesuatu. Namun, semua sepertinya sudah aman.

Sambil menunggu mereka mendekat, aku amati kalungku. Pancaran cahayanya mulai meredup.

Halo! Gimana menurut kalian? Sudah anu, kan? Nah, selagi menunggu bab berikutnya, aku pengen menyampaikan sesuatu, nih.

Jadi, sebentar lagi season 3 ini bakal tamat. Wah, ga kerasa, ya? Nanti bakal aku kasih bab tambahan juga untuk anu, selain ketikan curhat dariku tentunya.

Sampai jumpa!

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang