✳️ 5 : Reuni - 7 ✳️

91 25 1
                                    

Dia di tengah bertarungan dan jelas dalam bahaya. Aku berdiri melihatnya di sana, menghadap seorang lelaki yang selama ini mencoba menarikku dalam jebakannya.

Tatapanku bertemu dengannya, pelindungku, diiringi dengan sinar kalungku yang kentara. Aku tahu tanda ini dan kuputuskan untuk menjaga jarak.

"Hentikan," ucapku, tahu jika dia mendengarnya dengan jelas.

Ezekiel justru tertawa akan seruanku layaknya mendengar guyonan. "Jangan dramatis gitu, deh. Gue kira lo dijaga sama Hyde."

"Aku ke sini atas kehendakku," tegasku.

Ezekiel hanya menanggapi dengan "oh" pelan.

"Aku perintahkan engkau untuk segera pulang!" titahku.

Ezekiel tersenyum. "Tuan Putri, terpaksa gue tolak titahnya. Lo lihat sendiri 'kan, kalau ada musuh di sini? Gue enggak bisa lepas begitu saja."

"Ascella bukan ancaman," sanggahku.

"Putri kira yang selama ini membahayakan lo itu siapa?" sahut Ezekiel. "Wendigo aja dia pancing buat mangsa lo."

Aku paham sekarang. Selama ini monster yang memburuku memang didasari kehendak makhluk yang mengincarku pula. Seakan monster-monster itu tidak datang kepadaku dengan alasan sekadar lapar. Aku memang diburu.

Sosok Ascella menatapku dalam keheningan. Dia bahkan tidak berkutik seakan membenarkan ucapan Ezekiel. Namun, dapat kulihat dari matanya yang berkaca.

"Tuh, dia saja diam, berarti benar." Ezekiel melanjutkan sambil menunjuk Ascella dengan lirikan mata.

"Di ... Dia tidak ada bedanya dengan buruannya!" balas Ascella dengan gemetar. "Dia monster sesungguhnya!"

Aku diam saja, membiarkan mereka terus mencoba menjelaskan.

"Dia berjanji akan melindungi Kakak, tapi ujungnya malah dibekukan!" lanjut Ascella.

"Dibekukan bukan berarti dibunuh," jelas Ezekiel. "Dia bisa dilepas nanti kalau jin itu mau keluar."

"Jangan dibekukan, dong!" bentak Ascella. "Keluarkan keparat itu darinya!"

"Baik, baik, santai." Ezekiel mengibas tangan tanda meremehkan. "Bakal gue keluarkan jin itu asal lo enggak ganggu."

"Lakukan sekarang!" desak Ascella.

"Sebentar, gue mau ngobrol dulu sama dia." Ezekiel berjalan ke arahku.

"Apa?! Kamu pasti mau berkhianat!" Ascella berlari ke arahnya.

Dapat kulihat kerutan di dahi Ezekiel, tanda dia mulai kesal terhadap tingkah Ascella.

Krak!

"Argh!" Ascella menggerang kesal ketika kakinya terbelenggu es ciptaan Ezekiel. Dia dikurung lagi. Sebelumnya dia sudah kena serbuan angin beku depan pintu, meski barangkali itu tidak disengaja.

Ezekiel menunjuk Ascella dengan jari. "Ini masih mending, yang lain malah membeku satu badan sebanyak dua kali. Lo cuma sekali gini aja sudah mau pingsan. Masih untung gue pengertian."

"Pengertian dari mana?" Ascella melotot. "Kamu tetap saja mengekangku!"

Ezekiel mengabaikannya dan kembali melangkah padaku.

"Putri enggak luka 'kan?" Ezekiel berlutut sekiranya wajah dia sejajar dengan mataku.

Aku teringat dengan kejadian di rumah Ascella waktu itu. Tidak, itu tidak perlu diceritakan lantaran aku sudah merasa lebih baik. Baru saja hendak bilang jika aku baik-baik saja, rupanya Ezekiel melihat telapak tangan kananku yang masih memiliki bekas luka dalam.

Langsung dia tarik dan mengamati tanganku. "Ini luka dari mana?" Wajahnya tampak cemas, dapat kurasakan tangannya yang dingin menyentuh kulitku.

Terpaksa aku ucapan ini. "Gara-gara kekuatanmu. Aku terpenjara dan nyaris mati terjepit. Saat memanjat, duri-duri es menusukku."

Mata birunya menatapku. Baru kali ini kulihat dia murung, begitu cemasnya mendengar kisahku yang sebenarnya tidak separah yang mungkin dia bayangkan.

"Lo enggak apa-apa?" tanggapnya.

"Ya," jawabku singkat. "Lain kali hati-hati kalau menggunakan sihir."

"Ngerti." Ezekiel mengangguk pelan kemudian berdiri menghampiri Ascella. "Gue urus dulu bocah ini, ya."

"Tunggu!" seruku.

Dia hentikan langkahnya.

"Lepaskan saja dia. Bukannya Zibaq yang kita incar?" Aku coba lagi untuk meyakinkannya.

Ezekiel menatapku kemudian Ascella secara bergantian. Diam selama beberapa saat seakan sedang mencerna ucapanku baru kemudian tersenyum. "Ah, benar juga."

Tidak kusangka dia setuju kali ini.

Aku sedikit lega. "Nah, sekarang bebaskan dia."

Ezekiel menghadap Ascella. "Lo diam aja di sini. Jangan nakal, ya."

Ascella hanya membalas dengan wajah masam.

"Karena status lo bukan lagi jadi target gue, otomatis lo ga berguna lagi," lanjut Ezekiel. "Jadi, mending gue buang aja lo."

Ascella belum sempat menyanggah, Ezekiel sudah melelehkan es yang mengekang korbannya dan mengangkat lelaki itu layaknya sebuah karung.

"Hei!" Ascella mencoba memukuli bahu Ezekiel namun tidak ada reaksi.

"Zeke!" seruku dengan memanggilnya asal-asalan, yang penting terdengar keras.

Ezekiel menatapku sambil berkacak pinggang selagi sebelah tangannya menahan Ascella. "Gue ada ide, sih. Dia sebenarnya bukannya enggak guna, cuma kurang digunakan."

"Maksud?" Ascella membalas, sepertinya tersinggung.

"Nah, gue ada ide buat lo, nih," ucap Ezekiel pada Ascella. "Gimana kalo lo bantu kami cari Zibaq?"

"Itu yang ingin aku sampaikan dari tadi!" seru Ascella, dia memberontak. "Sekarang turunkan aku!"

Ezekiel lempar lelaki itu ke lantai hingga menciptakan bunyi benda jatuh yang keras. Terdengar erangan dari Ascella yang malang.

"Duh, tolong, deh. Jaga etikanya!" Ascella menatap Ezekiel dengan tajam.

Ezekiel bahkan tidak menatap wajahnya, justru tengah menghadap ke arahku. "Putri mending sembunyi lagi, deh. Gue enggak mau lo luka lagi."

"Aku tetap di sini," balasku. "Tapi, tentu akan kucari tempat yang aman."

"Lo yakin?" Ezekiel mengangkat sebelah alisnya. Wajar dia ragu, aku belum memiliki sihir dan malah bersedia ikut masuk ke dalam medan pertempuran.

Namun, dengan kalung yang bersinar ini, aku percaya bahwa aku akan baik-baik saja. Karena ada yang masih ada di sisiku. Aku mengangguk mantap pada Ezekiel, tanda yakin.

Ezekiel menatapku sejenak, aku tidak mengerti makna tatapannya. Namun, untuk beberapa saat dalam keheningan, dia tampak tenggelam dalam pikiran. Entah kenapa, aku merasa bisa membaca pikirannya kali ini. Seakan sudah paham betul rencana ini. Aku tidak suka bayangan akan kejadian selanjutnya meski tahu bahwa inilah jalan yang mesti diambil.

Ezekiel adalah Guardian. Dia berupaya melakukan segalanya demi melindungiku atau setidaknya menghindari bahaya Sihir Hitam. Sementara di antara kami ada calon korban Sihir Hitam berikutnya. Salah satu cara paling cepat guna mengakhiri kekacauan ini adalah dengan memancing biang keroknya.

"Lo percaya sama gue?" Ezekiel menatapku.

Dia sudah lama memberitahuku bahwa ini akan terjadi. Dia juga memberiku waktu untuk mengubah jikalau rencana ini memang pantas diganti. Namun, waktu demi waktu berlalu, aku diam saja. Aku biarkan dia lakukan semua hingga semua rencana telah dilaksanakan. Aku diam saja ketika dia bergerak maju melakukan semua, sementara aku yang seharusnya turut ke sana untuk turun tangan dan memberi arahan, justru bungkam. Bahkan saat segalanya akan berakhir pun, aku masih diam dan membiarkan dia bergerak. Kini kami telah tiba di bagian rencana akhir sebelum penutup. Diselubungi keraguan, akhirnya aku kembali memantapkan hati meski sudah menebak konsekuensinya. Ini jalan paling cepat meski ...

"Lakukan." Aku berucap dengan mantap.

Ezekiel membentuk sebuah es panjang berujung runcing lalu menggores tangan Ascella hingga berdarah.

Hai hai! Gimana hari minggu kalian? Agak anu, ya?

Nah, pada bab ini akhirnya Kyara bertemu kembali dengan Ezekiel setelah beberapa saat terpisah. Sedikit info, bagian pada bab ini terinspirasi dari sesuatu tapi aku lupa apa, anu pokoknya.

Terima kasih sudah baca. Jangan lupa vote dan komen serta follow akun Wattpad aku agar kalian selalu dapat info terbaru terkait cerita-cerita yang aku garap.

Sampai jumpa di lain waktu!

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang