✳️ 3 : Keluarga Wynter, Lagi - 6 ✳️

113 24 2
                                    

Atas kehendak Ezekiel, aku disuruh menunggu saja di rumah sampai dia kembali.

"Nanti gue jelasin hasilnya," ujar Ezekiel sebelum pamit. "Pokoknya lo jangan ke mana-mana tanpa seizin gue."

"Terserah," balasku malas. Apa-apa harus minta izin segala.

Aku mengerti kalau dia ingin melindungi, tapi menurutku ini sudah mulai aneh. Aku bisa menjaga diri dan tahu mana bahaya dan aman. Apa dia masih menganggapku sepolos itu? Aku ingat betul dulu sangat ketakutan sampai-sampai tidak mau berpisah dengan Guardian. Tapi, sekarang aku merasa sebaiknya lebih sering menjaga diri ketimbang harus bersama pelindungku terus. Tapi, bagaimana cara membicarakannya nanti?

Aku mendengar bunyi benda lembut ditepuk.

Rupanya Ariya duduk di sofa ruang tamu menghadap aku. Dia diam saja. Selama beberapa menit lewat hanya helaan napas kami yang terdengar. Sampai akhirnya, dia bicara. Tampak bosan menunggu rapat ala kadar yang terjadi di luar.

Dari jendela sudah menunjukkan bahwa malam telah tiba. Kami menunggu Ezekiel sejak sore. Selama menunggu, kami tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi hubunganku dengan keluarga Wynter masih terbilang canggung. Bahkan setelah segala yang kami lalui, seakan belum menumbuhkan rasa percaya penuh dariku pada mereka.

Ariya pun bersuara. Kini, dia tidak tampak seseram yang dulu. Malah lebih terlihat seperti wanita biasa yang ingin dimengerti. Meski aku tidak ingat betul berapa umurnya. Aku ingat kalau dia sudah lama lahir waktu Shan runtuh. Ah, dia seusia Zahra, justru lebih muda.

"Arsya dan Darren terus saja mengejar," ujar Ariya. "Padahal aku tahu, niat mereka hanya menjebak."

"Kuharap mereka segera kembali," ucapku tulus. Aku benar-benar mencemaskan mereka, terutama Darren. "Kita tidak bisa membiarkan penyihir itu berkeliaran lebih lama–maksudku Ascella, bukan Darren."

"Aku ingin membantu, tapi kekuatan batu ini tidak mempan karena bocah itu bahkan tidak menatapku," keluh Ariya.

Aku ingat betul dulu ketika kali pertama mengunjungi Kota Saghra, dia nyaris membuatku menjadi batu akibat terpana melihat kecantikannya. Aku memang memaafkan, tapi tidak akan lupa akan kejadian itu.

"Dia tahu reputasimu," tanggapku. "Makanya dia mencoba mengalihkan pandangan. Aku yakin seharusnya kalian bisa mengekang Ascella, baru kemudian kamu jadikan dia batu. Setelahnya disegel atau dihancurkan sama sekali."

"Memang begitu rencananya," ujar Ariya. "Tapi si Darren ini malah menunda dan bocah itu kabur!"

"Menunda?" Terdengar janggal untuk situasi seperti itu.

Aku belum kenal betul karakter Darren, tapi untuk siapa pun di posisi dia, tentu tidak akan menunda. Apalagi ini menyangkut nyawa banyak orang.

"Entahlah, pokoknya bukan salahku." Ariya membalas ketus sebelum akhirnya kembali menjadi dirinya yang biasa. Memang siapa yang menyalahkan?

Pintu pun diketuk.

"Siapa?" tanyaku.

"Sylvester."

Ezekiel masih saja menggunakan nama itu. Sudahlah, anggap saja itu nama panggung.

Aku bukakan pintu untuknya.

Mata birunya menatap lurus ke arahku, agak dingin sehingga sukses membuatku merinding. Kenapa dia ini?

"Ezekiel?" Aku mencoba menyadarkannya.

Ezekiel berkedip lalu duduk di sofa bekas aku duduk tadi. "Gue benar-benar enggak suka."

"Apanya?" tanyaku.

Guardians of Shan [3] : Niveous [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang