46

2.7K 341 20
                                    

Tok.....tok.....tok.....

"Sayang, kamu udah makan belum?"

"Kita makan bareng yuk!"

"Liat deh! Bunda ngirimin makanan buat kita. Ada ayam serundeng kesukaan kamu lohhh...."

"Sayang, maaf!"

Selain tadi pagi, seharian ini Lino belum melihat Lia. Begitu ia pulang, Lia sudah mengurung diri di dalam kamar.

Kalau sekedar kesal Lino tidak terlalu memikirkan, biasanya Lia akan membaik dengan sendirinya. Tapi kalau sudah menyangkut perasaan seperti ini ia tidak bisa diam saja, pikirannya tidak tenang, kerja pun tidak fokus, selalu Lia yang dipikirkan.

"Sayang, udah tidur? Kalo belum buka pintunya! Aku gak bisa tidur, pengen peluk kamu. Kamu gak pengen apa aku peluk?"

Tak ada respon sama sekali.

"Sayang, gapapa kalo kamu mau tidur sendiri, tapi pintunya jangan di kunci ya! Aku susah bangunin kamu paginya!"






























Lia tidak bisa tidur, bukan karena Lino tapi perutnya sedang lapar. Ia tidak mengerti kenapa hampir setiap malam ia selalu merasa lapar. Ia sudah menahannya tapi tidak bisa. Ia harus keluar, menuntaskan rasa lapar yang mengganggu.

Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari, harusnya Lino sudah tidur. Ia malas jika harus berhadapan dengan Lino dan menodongnya dengan permintaan maaf. Ucapan Lino kemarin sangat menyentak batinnya, tak pernah Lino seperti itu.

Pelan-pelan Lia bergerak takut menimbulkan suara. Pasalnya Lino sedang tidur di sofa ruang tengah, ia tidak ingin membuat Lino terbangun.

Udah kayak maling gue - Lia.

Ia membuka lemari pendingin. Matanya berbinar saat membuka kotak makan berisi ayam serundeng dari bundanya Lino. Ada juga sambal terasi. Tak lupa ia juga mengambil beberapa sayuran sebagai lalapan.

Dengan lahap ia menyantap makan malamnya. "Masakan bunda kenapa bisa seenak ini sih?" Ia membuka kembali lemari pendinginnya dan mengeluarkan makanan yang lain.

Akhirnya kenyang. Sebelum kembali ke kamar ia sempatkan ke kamar mandi terlebih dahulu untuk menggosok gigi dan buang air kecil. Di kamar yang sedang ia tempati tidak terdapat kamar mandi di dalamnya jadi ia harus memakai kamar mandi yang berada di dekat dapur. Tadi saja beberapa jam lalu ia harus ke kamar mandi karena ingin buang air kecil, untung saja tidak bertemu dengan Lino. Entah laki-laki itu dimana, mungkin di kamar.

Pelan-pelan Lia memutar kenop pintu kamarnya. Tapi, kenapa pintunya tidak bisa di buka?

"Ini kenapa? Kok gak bisa dibuka?"

Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Seseorang dari belakang melingkarkan kedua tangan pada tubuhnya.

"Pintunya kenapa sayang?"

"Kamu yang ngunci?"

"Nggak! Pintunya rusak mungkin?"

"Mana kuncinya!" Pinta Lia. Jelas ia tidak percaya dengan ucapan Lino. Suaminya ini pandai sekali menjahilinya.

"Kunci apa? aku gak tau."

"Mana kuncinya!" Pinta Lia sekali lagi tegas.

"Kamar kamu bukan disini sayang, tapi di sebelah sana." Ini memang ulah Lino, sudah pasti ia tidak akan menyerahkan kunci tersebut pada Lia. sebenarnya ia belum tidur dan ia juga melihat saat Lia keluar dari kamar. Ia hanya menutup mata pura-pura tidur. Ia juga tidak menghampiri Lia dan membiarkan istrinya itu makan dengan tenang karena khawatir Lia tidak jadi makan jika ia ikut bergabung di meja makan. Begitu Lia masuk ke kamar mandi, ia mengambil kunci pintu tersebut yang terpasang dibagian dalamnya lalu menguncinya.

Lino's LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang