50

3.1K 334 21
                                    

Begitu jam makan siang tiba, Lino segera pulang sembari membawa makanan untuk Lia.

Lia sedang tidur.

Lino melirik makanan tadi pagi yang ia simpan di atas nakas. Masih utuh. Obatnya juga masih ada, hanya air minum yang berkurang.

"Obatnya gak diminum?"

Lino berlutut di dekat ranjang menatap wanitanya begitu intens. Terlihat begitu lelah dan matanya sembab. Tangannya terulur menyentuh kening dan membelai lembut wajah sang istri. Ada apa gerangan? Kenapa Lia menangis?

Sentuhan Lino pun membuat Lia membuka matanya. Sebuah senyuman menyambutnya dari tidur lelap. "Sayang, kamu udah pulang?" Lia menatap jam dinding, waktu masih menunjukan pukul dua belas siang lebih tiga puluh menit.

"Aku bawa makan siang buat kamu."

Lia mendudukan tubuhnya dan menyandarkannya di kepala ranjang. Ia memegang kepalanya yang terasa begitu berat.

Lino pun berpindah posisi duduk di sisi ranjang. "Sayang obatnya kok gak diminum?"

"Aku udah gapapa kok."

"Gak makan juga?"

"Makan, dikit."

"Kamu habis nangis?"

"Nggak!"

"Itu matanya sembab. Gara-gara kemarin? Aku jujur sayang, gak ada hubungan apa-apa sama Dahyun."

"Aku percaya kok."

"Terus nangis kenapa? Ada masalah? Cerita sama aku!"

"Aku gapapa kok beneran." Lia tidak tahu harus beralasan apa.

Jelas Lino tidak percaya, tapi ia tidak mau mendesaknya. Mungkin nanti ia akan menanyakan kembali. "Yaudah sekarang makan ya! Aku suapin!" Lino menyendok makanannya yang sudah ia letakan di atas piring. Namun, Lia membungkam mulutnya sendiri dengan tangan. Ia mual mencium aroma dari nasi goreng seafood yang Lino beli. Lino panik, tiba-tiba Lia turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Lantas Lino pun menyusul Lia masuk ke dalam kamar mandi.

Di depan washtafel, Lia memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening. Ini bukan yang pertama kali, sebelumnya Lia sudah muntah sebanyak dua kali. Dari belakang Lino mengumpulkan rambut panjang Lia yang tergerai menjadi satu dan memijat tengkuknya, memudahkan Lia untuk mengeluarkan isi perutnya.

Begitu selesai, Lia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada tubuh Lino yang setia di belakangnya. Lino pun melingkarkan tangannya, takut tiba-tiba Lia terjatuh pingsan. "Sayang, aku panggil dokter ya?"

"Gak usah! Aku cuma masuk angin aja kok."

"Liat! Badan kamu lemes begini, aku khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Gapapa, lemes karena belum makan aja."

Lino pun menggendong Lia dan menurunkannya di atas tempat tidur. "Yaudah sekarang makan ya terus minum obat! Biar cepet sembuh.

"Sayang."

"Hm?"

"Aku gak mau makan itu!"

"Terus kamu makan apa?"

"Roti aja."

"Yaudah sebentar aku ambilin."

Gak mungkin gue diem aja, Lino berhak tau. Tapi ngomongnya gimana? - Lia.

Tak lama Lino kembali dengan membawa dua lembar roti tawar yang sudah diolesi selai coklat dan ditumpuk menjadi satu.

Lia meraih roti tersebut dan mulai menyantapnya sedikit demi sedikit. Sementara mulutnya sedang menguyah, pikirannya sedang menyusun kata untuk mengatakan fakta sebenarnya.

Lino's LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang