"Terkadang hidup bisa seperti permainan. Ada kata menang, kalah, dan mengambil kesempatan sekecil apapun."— Achilles Julian Mahendra.
Stasiun MRT Jakarta tampak bersinar dengan cahaya lampu yang meneranginya. Beberapa orang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Kereta juga datang silih berganti, membawa dan meninggalkan penumpangnya.
Disaat orang lain menunggu kereta, berbeda dengan Eileen. Ia justru duduk termenung di salah satu kursi tunggu. Sudah beberapa jam dia seperti ini. Langit bahkan sudah berganti menjadi gelap. Ia belum pulang sejak pulang dari sekolah. Ponselnya juga ia matikan sejak tadi.
Satu hal yang dibutuhkannya saat ini memang hanya ketenangan dirinya. Ia ingin sendiri tapi tidak ingin merasa kesepian. Ia ingin menangis, tetapi sejujurnya ia tidak suka menangis.
Disinilah akhirnya, berada di tempat umum yang tidak satupun mengenalinya. Ia sendiri namun tidak kesepian karena banyak orang di sekitarnya. Ia ingin menangis, namun karena ia di tempat umum maka dirinya tidak akan menangis. Begitulah cara Eileen melawan sisi melankolis dalam dirinya, walau rasanya mungkin sesak.
Eileen menghela nafas beratnya. "Apa gue harus pulang sekarang?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ah! Gak! Gue harus ke tempat Ameera. Iya, gue harus ketemu sama dia sekarang dan tanya tentang tadi siang!"
Eileen sudah berdiri bersiap untuk masuk ke dalam kereta yang baru saja datang. Namun, kemudian langkahnya kembali terhenti. Ia kembali terdiam di tempatnya, seperti orang kebingungan. Beberapa detik kemudian, ia justru tertawa kecil tanpa alasan.
"Mana mungkin dia mau ketemu sama gue. Kalau gue jadi dia juga pasti gak akan pernah mau anggap gue sahabatnya lagi. Bego!"
Sudah kelima kalinya ia seperti ini. Awalnya ingin pergi, namun saat sudah meyakinkan diri, kepercayaannya turun kembali di tengah jalan. Selama beberapa jam hanya itu yang dilakukan oleh Eileen. Mengulang kegiatannya selama beberapa kali dan selalu berakhir gagal.
Kesal dengan dirinya sendiri, Eileen berjalan keluar dari stasiun. Ia menaiki anak tangga dengan rasa kesal setiap menjajakkan kakinya.
Angin malam menerpanya saat sudah berada di luar. Ia berdiri di trotoar dengan memandang ke atas. Cahaya dari gedung-gedung serta lampu jalanan terlihat menambah keindahan malam ini. Tetapi sekarang, Eileen bahkan tidak peduli dengan semua itu.
"Gue gak suka nangis! Jadi jangan nangis, Eileen!" ujarnya sembari mengepalkan tangan, namun walau begitu matanya tidak bisa berbohong.
Satu bulir air matanya akhirnya keluar membasahi pipinya. Itu justru membuatnya semakin merasa kesal. Ia menghapusnya dengan kasar, rasanya sangat membingungkan. Ia sedih dan kesal secara bersamaan.
"Kenapa sih, El! Lo itu gak suka nangis! Lo ada di tempat umum, lo bakal disangka orang gila! Makanya jangan nangis, lo gak boleh nangis!"
Kata terakhir Eileen goyah, sekarang tidak peduli dengan orang lain lagi, akhirnya ia benar-benar menangis. Kepalanya menunduk, bahunya bergetar dan bibirnya mengeluarkan suara sesenggukan saat menangis. Ia yakin, saat ini pasti orang-orang yang melewatinya merasa aneh pada dirinya.
Kedua telapak tangannya mengepal, sementara tangisannya terus keluar. Sampai kemudian sesuatu menutupi kepalanya. Seseorang berdiri di depannya, membenarkan posisi jaket yang digunakan menutupi samping kepalanya agar wajahnya yang menangis tidak lagi terlihat orang lain.
Eileen masih belum sadar akan hal itu, ia masih sesenggukan sembari menunduk. Matanya yang tadi terpejam karena menangis, mulai terbuka. Ia berusaha mengatur nafasnya agar lebih tenang. Saat sudah cukup bisa mengontrol dirinya, ia melihat sepasang sepatu hitam di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
Roman pour AdolescentsPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...