"Mempunyai saudara ternyata jauh lebih menyenangkan daripada sendiri."— Achilles Julian Mahendra.
***
Tok
Tok
Pintu berwarna cokelat diketuk seseorang dari luar. Achilles yang sedang bermain PS menoleh saat pintu kemudian dibuka. Ia melihat sosok wanita paruh baya yang masih terlihat muda tersenyum padanya membawa nampan yang ada gelas berisi cairan putih a.k.a susu.
Achilles mengerjakan matanya beberapa kali, tangannya menggaruk rambut bagian belakangnya. Rasanya benar-benar canggung, ditambah lagi wanita ini tersenyum selembut itu. Apa ia harus ikut tersenyum?
"Kenapa?" tanya Achilles berdiri saat Helena sudah berhadapan dengannya.
"Ini Mama bawain susu buat kamu minum sebelum tidur," ujar Helena.
Achilles melihat susu itu dengan kening berkerut. Sekarang ia justru merasa geli sendiri, dia ini anak SMA kelas tiga berumur 18 tahun. Apakah harus minum susu sebelum tidur?
"Itu ... kayanya gak usah," jawab Achilles memijat tengkuknya.
"Kenapa? Kamu gak suka susu yah? Atau ada alergi sesuatu yang gak bisa buat kamu minum susu?" tanya Helena khawatir.
"Bukan itu, tapi saya— maksudnya, Alles bukan anak kecil lagi." Achilles mengatakannya seperti anak-anak yang takut dimarahi orang tuanya. Suaranya sangat pelan dan canggung.
Helena tertawa melihat tingkah Achilles yang tiba-tiba berubah menjadi kucing pemalu. "Emang cuma anak kecil aja yang boleh minum susu? Athalla juga sering minum ini sebelum tidur. Biasanya Mama yang buatin dia tiap malam. Sekarang karena kamu udah menganggap Mama, artinya kamu anak Mama juga. Jadi wajib minum susu tiap sebelum tidur."
"Tapi gak ada yang mengatur kalau harus wajib minum susu."
"Mama yang buat sendiri, ayo diminum!" ujar Helena terkekeh.
Bukankah ini pemaksaan? Harusnya Achilles merasa marah. Ini justru sebaliknya, Achilles meminum susu itu sembari menahan tawa. Masalahnya, ini adalah pertama kali baginya melihat Helena bertingkah berani memerintah bahkan memaksakan kehendaknya. Wanita itu terlihat seperti seorang Mama cerewet sungguhan.
Hal-hal seperti ini tidak pernah Achilles rasakan sebelumnya. Mendapat omelan dari orang yang benar-benar peduli padanya— seperti kedua orang tuanya. Achilles menyerahkan kembali gelas yang sudah kosong pada Helena.
"Sudah puas, Nyonya Mahendra?" tanya Achilles tersenyum geli.
"Hentikan itu! Apa yang Nyonya Mahendra?" respon Helena tersenyum kecil.
"Terus siapa lagi? Anda sudah menikah dengan Papa, jadi anda adalah Nyonya Mahendra."
"Achilles, kenapa kamu kembali berbicara formal?" tanya Helena.
Achilles menggaruk belakang kepalanya. "Maaf, lupa."
"Mama maafin, kamu gak belajar?"
"Buat apa?"
"Kamu tanya belajar buat apa?"
"Hm," jawab Achilles polos.
"Itu kan buat kamu paham sama materi pelajaran, Alles. Biar nilai kamu tinggi, emang selama ini kamu gak pernah belajar?" tanya Helena heran.
"Gak. Alles gak suka belajar. Buat apa dapet nilai tinggi? Alles jadi orang bodoh sekalipun tetap gak akan jadi miskin. Harta Papa akan jadi punya Alles, apa yang perlu dikhawatirkan?"
"Astaga!" Helena menepuk dahinya merasa speechless. "Bukan gitu konsepnya, Achilles. Mungkin emang kamu gak akan jadi miskin harta, tapi kamu akan miskin pengetahuan. Gimana cara kamu mengelola perusahaan nanti kalo kamu gak punya pengetahuan? Bagaimana kamu mendidik anak dan pasangan kamu nantinya? Pendidikan itu paling utama, Les."

KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
JugendliteraturPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...