"Manusia itu mirip bunglon. Di satu tempat ia tertawa, di tempat lain ia menjadi penghibur, dan di dalam kamarnya ia justru menangis." — Eileen Shura Brawijaya.
Terkadang, mengontrol perasaan diri sendiri itu sangat sulit. Seperti halnya Eileen saat ini, meski di sekelilingnya tengah ramai bersorak menonton final pertandingan basket untuk acara di hari terakhir homecoming, ia justru merasa tidak senang sama sekali.
Ia hanya berinteraksi dengan lelaki itu beberapa kali saja, tapi rasanya seperti sudah sangat dekat. Eileen memang tidak mempunyai hak apapun, tetapi bayangkan saja saat kemarin menerima perhatian lalu kemudian hari berikutnya justru sebaliknya.
"Kelas kita gak masuk final kan? Payah banget!" ujar Ameera.
"Ya lawannya aja kelasnya si Leon, gimana mau menang!" jawab Ayodhya.
"Iya juga sih, kelasnya ketua basket mana mungkin kalah!"
"Itu mereka udah pada masuk lapangan!" seru Claudia menunjuk pintu masuk stadion.
Seketika suara bergemuruh semakin kencang, hanya Eileen dan Paris yang tidak menampakkan ekspresi apapun. Jika Paris mungkin karena ia bertemu dengan mantannya, tetapi Eileen justru kesal karena ternyata gerombolan Achilles ikut dibelakang tim basket Leon walau lelaki itu dan temannya tidak ikut bermain.
"Jangan bilang sekarang gue ada di Colloseum! Mereka udah kaya dewa-dewa Yunani tau!" seru Ameera.
"Apanya yang dewa!" sinis Eileen dan Paris yang anehnya bisa bebarengan.
"Kalian kenapa sih? Bisa bareng gitu yah ngomongnya, salah makan?" tanya Claudia.
"Gue gak mood nonton! Gue mau pergi ke lapangan aja!" ujar Eileen berdiri dari duduknya.
"Ngapain ke lapangan? Panas tau!"
"Ya cari tempat yang dingin lah! Di sini hawanya panas!" Eileen tidak ingin mendengar bantahan lagi, ia langsung pergi begitu saja.
"Lo gak ikut?" tanya Claudia yang sebenarnya lebih untuk mengejek Paris.
Paris mendengus tanpa menjawab, ia mengeluarkan airpods lalu memasangnya di telinga. Tidak lupa buku novel yang ia bawa sejak tadi, ia mungkin tidak bisa pergi dari stadion tapi ia justru menciptakan dunianya sendiri di tengah keramaian.
***
Bangku panjang yang berada di bawah pohon rindang adalah tempat pilihan Eileen saat ini untuk menyendiri. Jika boleh jujur, sebenarnya bukan hanya karena Achilles suasana hatinya buruk. Ia kembali mengingat perkataan teman-temannya mengenai Athalla.
Mereka benar, sudah ada banyak sekali perbedaan antara dirinya dan Athalla sekarang. Seperti prinsip mereka yang mulai berbeda, lingkungan pertemanan mereka, perubahan sifat yang sangat kentara, dan tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil seperti dulu.
Athalla itu orang yang baik dan manis saat masih SMP. Dia suka sekali membuat Eileen tertawa. Setelah satu tahun hubungan mereka, anehnya sikap Athalla berubah 180 derajat. Sifatnya berubah dari yang manis menjadi keras serta emosional. Dia juga menajdi suka berkelahi atau membuat keributan. Tetapi setelah semua itu, bahkan Eileen masih belum mampu untuk melepaskannya, atau mungkin lebih tepatnya ragu untuk melepaskan.
"Apa yang menarik sampai lo lebih pilih duduk di sini sendirian?"
Achilles.
Lelaki yang belum lama Eileen kenal namun berhasil membuat pikirannya tentang Athalla menjadi bercabang. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki yang tengah berdiri di depannya ini. Eileen tahu itu, bahkan ia merasa ada ketertarikan yang cukup kuat pada Achilles.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
Teen FictionPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...