"Dia bukan monster. Dia hanya sedang terluka." — Eileen Shura Brawijaya.
Ruang kepala sekolah terasa menegangkan dari hari biasa. Itu karena di sana sudah hadir seorang Arestio Sebastian Mahendra, pemilik yayasan sekolah yang telah menyumbangkan dana terbesar.
Beberapa guru yang berkepentingan sudah hadir seperti kepala sekolah, wakil, serta guru yang memiliki jabatan lain seperti humas. Mereka duduk di sofa samping kanan dan kiri, menatap lelaki yang duduk single sofa di tengah mereka. Tatapannya yang tajam mampu mengintimidasi setiap pasang mata yang hadir di ruangan itu.
"Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?" ujar Arestio dengan nada beratnya.
"Maaf, Pak. Kami tidak sadar jika ada yang berani melakukan hal seperti ini, tetapi kami pasti akan membereskan semua ini."
"Kalian baru akan membereskan semuanya? Itu artinya kalian belum menangkap pelakunya?" tanya Ares masih dengan suara yang mengintimidasi.
"I-itu—"
"Aku tidak memilihmu menjadi kepala sekolah di sini untuk menjadi lamban!"
"Saya benar-benar meminta maaf atas semua yang terjadi, Pak Ares. Saya akan melihat rekaman cctv sekarang untuk memeriksa pelakunya."
"Lakukan itu dengan cepat dan keluarkan pelaku dari sekolah. Kalian juga harus membuat pengumuman agar tidak ada siswa yang menyebarkan berita ini sampai keluar sekolah. Sampai aku mendengar hal ini menyebar, kalian yang akan bertanggung jawab untuknya!"
"Baik, Pak. Sekali lagi saya benar-benar minta maaf, saya akan—"
Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka tiba-tiba. Achilles muncul dari sana, melangkah masuk dan berdiri sejajar dengan sang Ayah yang dibatasi oleh meja. Ia menatap tepat pada mata Ares tanpa rasa takut sama sekali.
"Oh Achilles ..." ujar salah satu guru terkejut melihatnya.
"Buat apa kamu masuk ke ruangan ini?" tanya Ares mengerutkan kening.
"Pelakunya ... biarkan saya yang mengurusnya."
"Kenapa harus kamu yang melakukannya? Biarkan para guru—"
"Ini masalah pribadi! Bukankah lebih baik yang mengurusnya adalah seseorang yang paling mengerti tentang kebenaran berita itu?"
"Apa yang kamu rencanakan, Achilles?"
"Biarkan saya yang mengurusnya."
"Keras kepala!" seru Ares, ia menyandarkan punggungnya pada sofa menatap putranya. "Terserah, tapi jangan membuat keributan. Jika kamu melakukannya, kali ini Papa akan turun tangan mencampuri kehidupanmu lagi!"
"Tidak akan pernah! Terpenjara di rumahmu selama 13 tahun seperti halnya neraka. Saya tidak akan pernah kembali ke sana!"
"Dasar bocah arogan!" ujar Ares menahan emosinya.
"Saya permisi!" Achilles membungkuk sekilas lalu bergegas keluar.
Ares memandangi kepergian putranya dengan tajam. Ia tahu bagaimana sifat Achilles, jika ia membiarkannya maka putranya kemungkinan besar bisa menjadi seorang pembunuh. Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya.
Ares jadi teringat bagaimana Achilles menghajar salah satu teman SMP-nya sampai masuk rumah sakit karena menertawakan dan mengejek dirinya memiliki ibu pelacur serta tidak memiliki keluarga normal yang utuh seperti kebanyakan anak. Ares bahkan sangat ingat bagaimana tatapan Achilles yang penuh kebencian. Dia tidak bisa berhenti meluapkan kemarahannya sampai Ares datang untuk menghentikannya.
"Liam, awasi Achilles! Jika terjadi sesuatu, minta mereka langsung mengabariku," ujar Ares pada kepala pengawal yang berdiri di sampingnya sofanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
Teen FictionPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...