"Benci bukan kata yang bisa mengakhiri sebuah hubungan keluarga."- Helena.
Athalla menatap Ibu kandungnya yang terlelap di atas kasurnya. Setelah kejadian tadi, ia mengobati beberapa luka Helena dengan mengompresnya dengan es batu untuk mengurangi memar. Ibunya tidak mau menceritakan semua, dia hanya memberitahu bahwa Achilles yang membantunya dari pukulan Ares.
Helaan nafas keluar dari mulut Athalla. Matanya memerah melihat keadaan Ibunya. Ia benci ketika Helena terluka, apalagi lukanya dikarenakan oleh Ares. Ia jadi merasa gagal menjadi anak yang baik bagi Helena.
Athalla membenarkan selimut Helena sampai ke pundak wanita itu. Ia keluar dari kamar Helena tanpa menimbulkan suara. Dadanya merasa sesak sekarang, ia harusnya tadi tidak pergi. Rasa bersalah menggerogoti dirinya sekarang.
Dengan langkah gontai, Athalla menuju dapur. Ia berencana untuk minum beberapa gelas wine untuk menenangkan pikiran, namun matanya menangkap sosok lain di meja bar dekat dapur. Hampir saja kakinya ingin berbalik, tetapi ia memberanikan untuk mendekati lelaki yang duduk membelakanginya sedang meminum minuman berwarna merah di gelasnya.
"Gue pikir lo gak bakal balik lagi," ujar Athalla duduk di kursi bar samping Achilles.
Lelaki itu mendengus, "harus berapa kali gue ingetin, ini rumah gue!"
Athalla tertawa miris dengan dengusan kasar. Ia mengambil satu gelas di atas meja lalu mengambil botol wine milik Achilles, menuangkan isinya ke dalam gelasnya.
"Lo gak bisa ambil sendiri, hah?!" kesal Achilles tetapi tetap membiarkan lelaki itu menuangkan minumannya.
"Males berdiri lagi." Athalla meneguknya beberapa kali.
Mereka berdua kembali hening, tidak ada yang berbicara. Hanya hembusan nafas dan helaan yang menemani mereka. Satu botol sudah tandas, lalu botol berikutnya kembali mereka habiskan bersama. Lalu sekarang adalah botol ketiga. Athalla menuangkan minuman ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
"Nyokap bilang ... katanya lo yang tolong dia dari pukulan Papa." Athalla menghela nafasnya pelan. "
"Kayanya gue kerasukan setan goblok tadi," jawan Achilles.
Athalla tertawa mendengar jawaban saudara tirinya. Entah kenapa, tetapi ia hanya merasa perkataannya terdengar lucu. "Thanks, udah bantuin nyokap gue."
"Gue udah bilang kalo tadi gue kerasukan! Gak usah dibahas. Mending lo pergi sana!"
"Hidup lo beruntung, Les. Lo selalu bisa ngelakuin apapun yang lo mau tanpa ngerasa takut. Sedangkan gue ... tiap hari gue harus ketakutan." Athalla menahan rasa sesak yang muncul. "Kalo gue keluar, apa nyokap gue bakal baik-baik aja? Apa Papa bakal pukul Mama lagi kalo gue gak nurut? Itu yang selalu ada dipikiran gue."
"Ngapain lo? Gue bukan tempat konseling cerita hidup orang. Hidup gue aja udah susah!" jawab Achilles merasa tidak nyaman.
"Bener juga, lo gak jauh lebih baik dari gue. Dan gue juga lupa kalo lo musuh gue."
"Musuh," gumam Achilles tertawa sinis.
"Tapi ... kenapa kita harus terjebak di tempat sialan ini? Kita musuh bebuyutan yang hidup satu atap dan bahkan saudara satu bokap. Lucu, iya kan?" ujar Athalla.
"Lo pasti bahagia, tinggal di sini belasan tahun sementara gue yang harus angkat kaki dari rumah ini."
"Lo pernah tinggal di sini sebelumnya. Apa lo pernah ngerasain bahagia di sini?" tanya Athalla.
Achilles terdiam akan pertanyaan itu. Bahkan sejak ia lahir, mungkin kebahagiaan adalah hal yang terasa asing di rumah ini. Tidak ada kehangatan sama sekali, baik dulu maupun sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
Teen FictionPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...