"Seharusnya tidak ada rasa benci saat aku tahu bukan dia yang bersalah."— Achilles Julian Mahendra.
"Mama udah bilang, gak usah ikut-ikutan sama anak-anak itu! Kamu ini kenapa sih gak pernah dengerin Mama?!"
"Tapi—"
"Mau membantah lagi?! Kamu hampir aja masuk penjara, Edgar! Mama gak bisa bayangin kalo hasil kamu positif! Mungkin nama kamu udah Mama coret dari kartu keluarga!"
Aveera— Mama dari Eileen dan Edgar berkacak pinggang melihat putra semata wayangnya duduk di sofa setelah kembali dari pemeriksaan tentang penuduhan pemakaian narkoba. Wanita paruh baya itu sangat marah mendengar berita anaknya ditangkap. Ia pikir Edgar benar-benar mengonsumsi obat terlarang itu. Bersyukur hasilnya negatif.
"Ma, itu anaknya luka, gak mau diobatin dulu? Kasihan loh kena marah terus," ujar Rafael berusaha menenangkan Aveera.
"Iya, Ma. Ini muka Edgar sakit banget loh, Papa tadi mukul muka Ed kenceng banget nih sampe berdarah!" adu Edgar mengkambinghitamkan Papa tirinya.
"Heh, anak ini! Dibantu malah ngelunjak!" gumam Rafael.
"Kamu pantes dipukul! Sini biar Mama tambah lagi!"
"Ma, udah, Ma! Udah!"
Rafael menahan tangan istrinya yang ingin memukul Edgar. Sedangkan Edgar berusaha melindungi wajahnya, takut jika dipukul lagi. Ia tidak mau wajahnya semakin banyak luka dan lebam, nanti ia gagal mengajak mantan pacarnya balikan.
"Mulai besok gak ada lagi kamu nongkrong tiap malem! Di rumah aja!" bentak Aveera.
"Yah, Ma! Tapi Edgar 'kan— aduh!" belum selesai berbicara, kepala Edgar keburu dijitak oleh Aveera dengan keras.
"Mau ngebantah lagi, hah?!"
Sepertinya memang Edgar anak yang tidak peka. Rafael akhirnya memberikan kode untuk mengiyakan perkataan Mamanya, daripada harus mendapat lebih banyak pukulan. Jujur saja, Aveera walau sudah tua tetapi pukulannya seperti anak lelaki seumuran Edgar. Sangat keras.
"I-iya, Edgar gak akan main lagi! Besok-besok, Ed di rumah aja ngabisin makanan sama berantakkin rumah!" jawab Edgar terpaksa.
"Kamu ini! Lebih pilih di rumah atau masuk penjara kamu hah?! Masih untung kamu gak masuk penjara!"
"Iya-iya, Ma!"
"Awas kamu! Obatin tuh lukanya, jangan manja!"
"Iya."
Melihat Mamanya marah justru membuat Edgar jadi seperti tikus kecil. Ia tidak berani membentak wanita itu. Walau begini, Edgar juga masih sayang Mamanya. Mana mungkin ia berani menyakiti wanita itu.
"Syukurin! Makanya jangan sok jadi orang!" Eileen yang bersandar di kusen kamarnya tersenyum sinis, sementara di sebelahnya ada Ameera yang meringis melihat Edgar.
"Dasar Adek dakjal! Abangnya lagi kesusahan bukannya dibantuin!" kesal Edgar.
"Dih, buat apa gue bantuin lo! Lo itu pantes dapetin itu, harusnya lebih!"
"Ck, masuk kamar aja lo sana kalo cuma mau ngejek gue!"
"Makanya kalo pilih orang itu hati-hati, masa lo gak tau kalo ada salah satu temen lo pemakai sih?!"
"Ya mana gue tau, ah berisik!" Edgar berusaha mengompres lukanya dengan air dingin.
"Dasarnya aja lo yang bego!"
"Lo tuh yah—"
"Udah lah, El. Lagian hasil bang Edgar juga kan negatif," ujar Ameera.
"Tuh dengerin, tau gitu mending lo aja yang jadi Adek gue, Mer!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Achilles
Fiksi RemajaPendragon Geng terkenal dari salah satu sekolah elite swasta yakni SMA Garuda yang sangat ditakuti oleh sekolah lain. Berani menantang mereka, maka bersiaplah bertemu dengan sang malaikat pencabut nyawa dari geng itu. Achilles Julian Mahendra, siswa...