||31. Disappointed||

181 16 0
                                    

🌧🌧🌧

"Tidak ada yang benar-benar bisa melupakan luka. Sekalipun ia bisa menerima, bukan berarti ia lupa sepenuhnya."

🌧🌧🌧

Dio memasuki rumah dengan terbatuk-batuk. Rasa nyeri di perutnya masih bagitu terasa. Kedua temannya—Gilang dan Tomi—merangkul di kedua sisi bahu, membantunya melangkah. Dio reflek menghentikan langkah saat samar-samar ia mendengar mamanya tengah berbincang dengan seseorang yang begitu familiar, tubuh Dio seketika menegang saat tahu siapa lawan bicara mamanya itu.

Sial. Kenapa Tante Ginanjar ada di sini, si, batin Dio gelisah.

Tantenya pasti akan bertanya-tanya kenapa ia bisa terluka seperti ini, Dio tidak mungkin menjelaskan kebenarannya bahwa Sena lah yang telah melakukan itu, itu sama saja ia mencari perkara baru. Dio sudah berjanji kepada Rayna untuk tidak membuat Sena dihukum. Ia juga tidak ingin mengecewakan Rayna dengan melanggar janjinya sendiri. Lalu sekarang bagaimana?

"Ada apa, si, Bro?" tanya Gilang, Dio menggeleng lemah. Gilang menatapnya bingung lalu kembali membantu Dio melangkah bersama Tomi.

Saat berada di ruang keluarga, Dio melihat mama dan juga tantenya langsung menoleh saat melihat mereka melangkah mendekati.

"Permisi, Tante," sapa Tomi.

Hera yang melihat keadaan anaknya sangat buruk langsung memikik terkejut, ia dengan cepat beranjak dari duduknya menghampiri Dio. "Ya ampun Dio, kamu kenapa, Nak?!" Hera memegangi kedua pipi Dio dengan cemas membuat Dio meringis kesakitan. Tomi dan Gilang sudah melepaskan rangkulan mereka. Dio juga melihat tantenya menghampiri dengan raut yang sama cemasnya, menatap Dio, Gilang dan Tomi bergantian menuntut penjelasan mengapa Dio bisa seperti itu.

Dio menggeleng, mencoba menenangkan mamanya. "Dio nggak apa-apa, Ma."

"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Dio bisa sampai kaya gitu?" Ginanjar mendesak Tomi dan juga Gilang, membuat mereka berdua terpojok karena bingung harus menjawab apa.

Mereka berdua melirik Dio yang langsung dibalas senyuman kaku. Ia hanya berharap temannya itu tidak mengatakan yang sebenarnya. "Anu, Tante, tadi ... Dio—Dio berantem di sekolah," jawab Gilang terbata-bata. Jelas, dia takut dengan tatapan Ginanjar yang mungkin saja mengira mereka berdua lah yang sudah membuat Dio seperti itu. Dio sedikit lega temannya tidak mengatakan bahwa ia berkelahi dengan Sena.

Mamanya membantu Dio duduk di sofa, lalu disusul dengan tantenya. Mereka berdua sama-sama memperhatikan wajah Dio yang dipenuhi luka. Lalu Hera kembali melirik Tomi dan juga Gilang yang masih berdiri.

"Ayo, kalian duduk dulu, ya. Biar Tante buatkan minum," ucap Hera ramah kepada Tomi dan juga Gilang. Walaupun kondisi anaknya mengkhawatirkan, ia masih bisa bersikap tenang, justru Ginanjar lah yang terlihat marah melihat keponakannya babak belur seperti itu.

"Nggak usah, Tante, kita mau langsung pamit pulang aja. Tadi cuman antar Dio karena khawatir kalo dia bawa motor sendiri," ujar Gilang bersiap-siap untuk pamit pulang sambil menghampiri Hera.

"Terima kasih, ya, kalian sudah menolong Dio."

"Sama-sama, Tente. Sebaiknya Dio langsung dibawa ke klinik aja, Tan. Tadi udah sempat diobati, tapi takutnya ada luka dalam," saran Tomi. Hera mengangguk lalu berdiri dari duduknya. Tomi dan Gilang bersalaman, pamit kepada Ginanjar dan juga Hera. Tapi nampaknya Ginanjar masih penasaran dengan sebab akibat Dio pulang dengan kondisi seperti itu.

"Kalian tahu Dio berantem sama siapa? Ada masalah apa mereka sampai berantem kaya gitu? Memang nggak ada guru yang mengawasi?" tanya Ginanjar beruntun. Dio reflek menoleh kembali ke arah tantenya, begitupun Hera.

UnforgettableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang