🌧️🌧️🌧️
"Mungkin, karena kau seringkali melihat orang lain terlihat baik-baik saja, kau jadi berpikiran bahwa ia memiliki hidup yang sempurna. Tapi siapa yang tahu? Bahwa ternyata ia juga memiliki kesedihan yang amat menyakitkan. Karena ia bisa menerimanya lah, ia bisa menyembunyikannya."
🌧️🌧️🌧️
"Gue lelah dengan aturan-aturan, Rayn," jawabnya lirih.
Rayna menaikan sebelah alisnya, memperhatikan Sena yang mungkin saja akan kembali berucap, menjelaskan lebih detail agar Rayna paham, tetapi rasanya Sena tidak akan kembali berucap, untuk itu Rayna membuka suaranya.
"Aturan-aturan? Aturan apa?" Sena melirik Rayna sekilas sebelum akhirnya kembali menatap ke depan.
"Gue pengin banget kaya orang lain di mana mereka bebas melakukan apapun yang mereka mau, melanggar aturan tanpa takut hukuman. Gue pengin kaya mereka, Rayn. Gue pengin jadi remaja yang normal yang bisa hura-hura tanpa kekangan orang tua." Sena berhenti berucap, Rayna terus memperhatikannya. Raut wajah sena terlihat tenang seperti tidak ada masalah apapun, tetapi kenapa ucapannya itu justru malah sebaliknya?
Ucapan Sena barusan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya, tetapi Rayna paham apa yang dimaksud Sena. "Kenapa lo berpikir kalo diri lo nggak normal? Apa menurut lo orang yang bebas melakukan apapun tanpa aturan itu normal?"
Sena mengangkat kedua bahunya. "Ya, gue rasa gitu. Karena apa yang gue lakukan itu bukan apa yang gue mau. Semua itu terikat akan aturan, aturan yang dibuat orang tua gue sendiri," jawab Sena, "gue nggak suka dengan hidup gue. Mungkin banyak orang mengira gue cowok yang sempurna, cowok yang famous, yang jenius. Mereka melihat gue sering ikut olimpiade, sering juara kelas, dan gue salah satu anggota OSIS yang aktif di sekolah. Tapi pada nyatanya itu semua bukan hal yang gue mau, bukan hal yang gue nikmati, dan bukan hal yang seharusnya gue miliki."
Rayna semakin serius menatap raut wajah Sena. Apa Sena baru saja berkata bahwa ia tidak suka menjadi pintar? Itu benar-benar konyol.
"Maksud lo ... lo nggak suka dengan hal baik seperti itu?" Sena terkekeh kecil mendengar pertanyaan Rayna barusan. Rayna setuju jika Sena menganggap dirinya tidak normal jika saja ia tidak suka hal baik dalam dirinya, tapi ia menganggap dirinya tidak normal karena merasa tidak bisa melakukan kesalahan, itu sangat membingungkan.
"Terlalu memusingkan," jawab Sena, "lo tahu kenapa?" Rayna menggeleng untuk menjawabnya.
"Karena semua itu gue dapat bukan semata-mata karena gue beneran jenius atau menginginkannya, melainkan karena desakan dari orang tua gue, perintah dan aturan dari mereka." Sena menatap Rayna serius, dengan raut wajahnya yang tetap terlihat tenang, "bertahun-tahun gue mendapatkan kebanggaan itu, bertahun-tahun pula gue harus terima dan menuruti semua aturan mereka. Gue sama sekali nggak ada niat untuk menjadi pintar, Rayn, membuat semua orang bangga sama gue, dengan prestasi gue. Gue lebih memilih menjadi anak yang urakan, jika itu bisa membuat gue menjadi diri sendiri."
Rayna baru tahu ada orang yang tidak ingin memiliki prestasi yang membanggakan, dikenal karena kejeniusannya, Rayna bisa melihat orang semacam itu sekarang, di dekatnya, di hadapannya, dan ia lebih tidak percaya lagi mengetahui orang itu adalah Sena. Oh, ayolah. Apa ia tidak salah dengar?
Sempat ingin protes dengan ucapan Sena tadi, mengetahui dirinya justru ingin mendapatkan apa yang Sena miliki. Ia ingin membuktikan bahwa ia juga berguna, bisa mendapatkan prestasi, ingin menunjukan itu kepada kedua orang tuanya, tetapi Rayna justru belum bisa. Nilainya yang pas-pasan benar-benar jauh dari kata sempurna, maka dari itu, saat Sena berucap demikian ia sedikit geram, tetapi sekarang ia paham Sena terlalu banyak menerima aturan, tentu saja itu membuat ia lelah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable
Teen FictionRayna Roseline, gadis yang terjebak di dalam masa lalunya. Ia begitu sulit melupakan. Ketika ia mulai lupa keadaan justru memaksanya kembali bertemu dengan masa lalunya itu. Seakan waktu memang sedang mempermainkan perasaannya, atau justru ingin men...