🌧🌧🌧
"Tak apa menjadi beda. Karena perbedaan, tak selalu mengenai keburukan."
🌧🌧🌧
Sena memasuki ruangan kepala sekolah bersama ibu, tante dan juga Dio. Ibunya benar-benar nekat menyeretnya ke ruang kepala sekolah, bukan untuk menuntut pihak sekolah karena kemarin ia berkelahi, melainkan karena ibunya ingin meminta hukuman untuk Sena. Untuk anaknya sendiri.
Sena, Ginanjar, Hera beserta Dio duduk berhadapan dengan kepala sekolah dan juga wali kelas Sena dan Dio. Ketiga pihak sekolah itu dengan Ginanjar dan Hera saling bercakap-cakap mengenai kejadian kemarin, mengenai mengapa tidak ada yang tahu mereka berkelahi, mengenai banyaknya guru yang ikut rapat, serta Dio yang membolos sedangkan Sena dispensasi OSIS. Sena dan Dio sendiri saling terdiam, tidak tahu harus melakukan apa.
Kepala sekolah meminta maaf karena ia tidak tahu kedua muridnya berkelahi, sampai menyebabkan Dio masuk rumah sakit.
Seperti tujuan awalnya, Ginanjar langsung menuturkan niatnya meminta hukuman untuk Sena. Sena mendesah saat mendengar penuturan ibunya, sedangkan kepala sekolah, mengangguk-anggukan kepala mendengar permintaan Ginanjar.
"Terus terang catatan Sena dan Dio di sekolah sangatlah baik, begitupun dengan nilainya baik dalam akademik maupun non akademik. Mereka berdua tidak pernah berulah, justru selalu berpartisipasi dalam kegiatan apapun. Maka dari itu saya selaku kepala sekolah sempat tidak percaya kedua murid teladan ini saling berkelahi," tutur Kepala Sekolah—Pak Saepul—dengan tenang dan tegas. Mereka yang ada di ruangan itu hanya mendengarkan dengan seksama, "masalah hukuman apa yang pantas untuk perbuatan Sena, saya rasa untuk saat ini saya masih bisa memaklumi, Bu. Mungkin saya akan memberikan Surat Peringatan, karena ibu sekalian sudah ada di sini bisa kita bicarakan bagaimana baiknya. Jika ibu dari Dio tidak keberatan, Sena tidak perlu mendapat hukuman," lanjut Saepul.
Hera mengangguk-anggukan kepala setuju. Sena sempat lega mendengarnya, tetapi saat ia melirik ibunya yang nampak keberatan, kelegaan itu luntur seketika. Ibunya memang tidak akan bisa ditentang.
"Saya sangat setuju, Pak, lagipula Dio sudah tidak apa-apa. Sebenarnya ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, tidak perlu ada hukuman. Saya rasa semuanya hanya salah paham," ucap Hera ikut menyetujui usul dari kepala sekolah. Kepala sekolah mengangguk begitupun dengan kedua guru lain.
"Benar, Bu."
"Tapi saya tidak setuju," potong Ginanjar cepat, "bukan seperti ini caranya memaklumi anak yang sudah membuat orang babak belur. Sena sangat keras kepala, dia tidak akan jera tanpa adanya hukuman." Ginanjar akhirnya melontarkan ketidak setujuannya, mungkin hanya ia seorang saja yang tidak setuju jika perkelahian Sena dan Dio kemarin masih bisa dimaklumi karena mereka hanya kali itu saja berulah. Ginanjar tetap bersikukuh dengan tujuan awalnya ke sekolah ini. Meminta hukuman untuk Sena.
Sena pasrah, ia sudah siap menerima apapun yang akan menjadi hukumannya, bahkan jika ia harus dikeluarkan dari sekolah. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi, karena ia butuh beberapa kasus besar dulu untuk bisa dikeluarkan dari sekolah.
Dio yang sedari tadi diam pun membuka suara. "Tante, Dio juga salah kemarin, bukan hanya Sena aja. Bapak Kepala Sekolah juga memaklumi itu, jadi Sena nggak perlu dihukum. Semuanya pasti baik-baik aja, Tante." Ginanjar tidak menggubris perkataan Dio.
Sena yang mendengar itu justru ingin menghajar Dio sekarang juga. Enteng sekali ia berbicara seperti itu. Bukannya ia yang kemarin sudah mencari masalah lebih dulu sehingga semuanya menjadi seperti ini? Jadi untuk apa ia berucap demikian?

KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable
Teen FictionRayna Roseline, gadis yang terjebak di dalam masa lalunya. Ia begitu sulit melupakan. Ketika ia mulai lupa keadaan justru memaksanya kembali bertemu dengan masa lalunya itu. Seakan waktu memang sedang mempermainkan perasaannya, atau justru ingin men...