||47. Not Leaving||

147 8 6
                                    

🌧🌧🌧

"Orang yang benar-benar mencintaimu, tidak butuh alasan untuk pergi meninggalkanmu."

🌧🌧🌧

Hari demi hari sudah Rayna lewati, dengan penuh kecemasan, penuh ketakutan, dan penuh harapan. Sedikit demi sedikit Rayna sudah bisa menerima penyakitnya, walaupun ketakutan itu tidak sepenuhnya sirna. Ia juga sudah menyetujui untuk mengikuti perawatan rutin dengan melakukan cuci darah seminggu tiga kali selama menunggu donor ginjal yang cocok untuknya.

Dio benar-benar selalu ada di samping Rayna, menemaninya setiap kali ia harus ke rumah sakit, mendukungnya, serta selalu yakin bahwa ia bisa kembali sembuh. Mengenai penyakitnya ini tidak ada orang lain yang tahu selain Dio, Hera, Rara, dan juga Bi Surti. Rayna tetap menyembunyikan ini dan menolak untuk memberitahu kedua orang tuanya, Sena, dan bahkan Shasa orang yang dekat dengan Rayna. Ia tidak ingin membuat mereka khawatir apalagi sampai tahu bahwa mereka mengasihaninya karena kondisinya yang sudah jauh berbeda.

Penyakit ini serta pengobatan yang harus Rayna ikuti bukanlah perkara mudah. Ia masih sering merasa pusing, keram di bagian pinggul, muntah-muntah, bahkan efek dari cuci darah itu seringkali membuatnya gatal-gatal. Tapi, karena keinginannya yang besar untuk sembuh, Rayna tetap semangat dan mencoba untuk menerima. Ia tidak ingin keinginannya itu hanya menjadi sebuah harapan belaka.

Sebelumnya Rayna tidak pernah menyangka hidupnya akan bergantung dengan obat dan juga perawatan yang seringkali menyakitkan. Awal-awal didiagnosis Rayna pernah begitu putus asa sampai yang ia ingat hanya gambaran-gambaran menakutkan seperti kematian. Ia pesimis bahwa hidupnya setelah itu akan baik-baik saja, tetapi lagi-lagi Dio selalu menyemangatinya, dan membuatnya yakin semuanya akan kembali stabil.

Rayna masuk ke dalam kelas, ia menaruh tasnya di atas meja dengan pandangan tertuju kepada Shasa yang tengah marah-marah kepada Bian--salah satu teman laki-laki di kelasnya--sambil menunjuk-nunjuk buku catatan di atas meja. Rayna menaikan sebelah alis, ia tahu Shasa seringkali memberi sontekan tugas pada Bian dengan suka rela bahkan itu terjadi hampir setiap hari, dan kali Rayna sudah tidak mengerti lagi.

Kenapa Shasa begitu inginnya memberi hasil tugasnya seperti itu? Awalnya Rayna mengira mereka saling suka dan sedang melakukan pendekatan atau semacamnya, karena Bian juga tidak bisa dibilang laki-laki yang kurang menarik, ia cukup tampan, badannya tinggi walaupun kurus. Tapi, jika dipikir-pikir lagi Shasa justru lebih sering dibuat kesal oleh Bian dan itu sama sekali tidak menunjukan bahwa ada rasa suka di antara mereka. Mungkin Bian menyontek karena Shasa memang salah satu murid pandai di kelas.

Rayna duduk di kursinya, Shasa hanya menatapnya sekilas dan kembaki kepada Bian menyumbang kebisingan di pagi hari ini.

"Awas, ya, gue nggak akan kasih lo sontekan lagi kalo sampai itu terjadi."

"Astaga, Sha, lo jahat amat."

"Bodo, gue nggak mau tahu."

Rayna menoleh kembali ke belakang dan melihat Shasa sudah berjalan ke arahnya sambil tersenyum lalu duduk di samping Rayna.

"Hai, Rayn."

"Pagi-pagi lo udah ribut aja, Sha," cetus Rayna membuat Shasa tekekeh.

"Sorry, ya. Abis itu, tuh, Bian, udah dikasih sontekan malah nggak tahu terima kasih," sungut Shasa.

"Lagi?"

"Menurut lo?" Rayna menggeleng-gelengkan kepalanya, ia jadi merasa kasihan dengan Shasa yang seperti dibodohi. Shasa yang melihat ekspresi Rayna seperti itu mendesah, "Ya, habis mau gimana lagi, Rayn? Gue kasian soalnya sama dia. Bian itu begonya udah minta ampun, nggak pernah ngerjain tugas juga lagi. Dipikir ini sekolah punya nenek moyangnya sampai dia malas-malesan kaya gitu?" Shasa menoleh ke belakangnya dan Rayna pun ikut menoleh ke belakang ke arah Bian yang tengah asik mencatat.

UnforgettableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang