||27. Sakit yang Sama||

233 13 0
                                    

🌧️🌧️🌧️

"Orang-orang menangis karena memiliki hati dan juga perasaan. Orang yang tidak bisa menangis lagi dalam keadaan apapun, bukan karena ia tangguh, melainkan karena hatinya sudah benar-benar keras, sampai ia sendiri tidak tahu lagi bagaimana caranya bersedih."

🌧️🌧️🌧️

Sena meletakan nampan yang berisi teh hangat, serta handuk kering ke atas nakas. Ia meraih kursi yang ada di dekat meja belajar lalu memindahkannya ke samping tempat tidur. Sena mengamati Rayna yang sudah terlihat hangat dengan kupluk di kepalanya. Ia tersenyum saat melihat Rayna mengamatinya, keadaannya sudah lebih membaik sekarang walaupun wajahnya masih terlihat pucat.

"Udah baikan?" tanya Sena. Rayna mengangguk pelan. Sena ikut mengangguk lalu mengambil gelas. "Minum dulu nih, biar tubuh lo makin hangat." Sena membantu Rayna meminum teh yang sudah ia buatkan tadi, setelah Rayna meneguk beberapa tegak ia membantunya kembali berbaring, sedangkan tangannya yang bebas meletakkan teh ke tempat semula sambil meraih kain kering lalu mengompreskannya ke leher Rayna.

Sena mengamati Rayna, ia melihat ada luka lebam di sudut bibirnya, Sena juga masih ingat bahwa siku Rayna terluka, juga pergelangan tangannya yang memerah. Sena melihat itu saat membopong Rayna tadi. Pasti ayah Rayna sudah berlaku kasar sehingga menyisakan luka-luka itu, tetapi Sena tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya? Bi Surti juga pasti belum sempat mengobati luka itu.

Sena menghela napas. Terlalu banyak luka yang Sena lihat kali ini, hal itu membuat dadanya sesak, apalagi saat melihat Rayna berbaring seperti ini. Apa saja yang sudah dilakukan pria sialan itu sampai membuat Rayna demikian? Jika saja ayah Rayna berada di rumah sekarang, Sena sudah pasti akan menghajarnya habis-habisan.

Rayna tersenyum ke arahnya. "Gue udah nggak apa-apa, kok, Bang," ucap Rayna parau, sepertinya ia menangkap wajah Sena yang cemas. Sena mengangguk mengiyakan.

"Lo tidur aja, Rayn. Biar gue yang jagain lo," titah Sena. Ia tahu Rayna sangat kelelahan, matanya terlihat sayu, Rayna pasti tidak tidur semalaman di tempat dingin seperti itu.

Perlahan, Rayna pun menutup matanya. Tertidur. Sena mengamatinya lekat-lekat, mendengarkan deru napasnya yang sudah mulai teratur. Ia yakin, Rayna pasti akan baik-baik saja. Untuk kali ini saja Sena melihat Rayna seperti ini. Lain kali tidak akan lagi.

Sena bangkit dari duduknya, melangkah mencari kotak P3K. Setelah menemukannya di sudut meja belajar Rayna, Sena kembali duduk di kursi. Membuka kotak P3K itu, mengambil kapas lalu menetesinya dengan alkohol. Dengan hati-hati Sena mencondongkan badannya untuk mengobati luka di sudut bibir Rayna.

Napasnya tersengal. Dadanya bergemuruh dengan tangannya yang sedikit gemetar saat kapas itu menyentuh sudut bibir Rayna. Ia tahu Rayna tidak pernah terlihat lemah seperti ini, Rayna selalu mencoba menunjukan senyumnya walaupun ia tengah terluka, Rayna selalu bisa menutupi semua kesedihannya. Tapi untuk kali ini, Sena melihat Rayna tidak berdaya, ia terluka.

Kenapa melihat lo kaya gini benar-benar bikin gue sakit, Rayn? Kenapa gue nggak bisa jagain lo? Kenapa lo harus terluka dan mengalami hal seperti ini?

Sena menarik dirinya, menunduk, menarik napasnya dalam-dalam. Ia harus membuat Rayna bangkit. Ia tidak akan membuat Rayna mengalami hal yang sama lagi.

Dengan hati-hati Sena meraih pergelangan tangan Rayna, ia berjongkok untuk mengobati luka di siku. Luka itu sudah membiru, darah kering juga masih membekas di sisinya. Sena dengan hati-hati membersihkan dan juga mengobatinya sebisa mungkin agar Rayna tidak terbangun. Setelah luka itu bersih dan sudah tertutup dengan plester, Sena merapikan kotak P3K dan meletakkannya kembali di tempat semula.

UnforgettableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang