47. Flashback dan kenyataan

170 47 13
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

     “OH, jadi lu orang yang nyekap Liana?” Rakha mendengus kasar, “niat juga lu sampai bawa dia ke Thailand.” Ia mengeratkan rangkulannya pada Liana yang terlihat kurus dan terasa kecil di rangkulannya. Padahal terakhir kali dia melihat Liana masih berisi dan sehat. Tapi apa ini? Apa gadisnya itu tidak diberi makan dengan benar? Atau tidak diberi makan sama sekali?

Sepertinya sepulang dari sini Rakha akan menjajalkan segala makanan pada gadisnya itu banyak-banyak. Tidak peduli akan menambah berat badan yang berlebih, sungguh.

Bas berangsur berjalan mendekat pada sepasang itu. Ia kembali mengancingkan celananya seperti awal. Menyeringai sengit. Sinar matanya mengkilap. Ruangan yang temaram seakan mendukungnya untuk bisa membunuh lawannya hanya melalui tatapan. Sorot mata yang mampu mendatangkan jiwa ketakutan di diri Liana dan seketika itu langsung membuatnya meremang.

Gadis itu meremas baju lelaki yang mendekapnya. Membenamkan wajah di dada kokoh Rakha, tak mau melihat wajah Bas yang cukup membuatnya ketakutan seolah ia ingin kencing celana saat ini juga.

Bas yang melihat Liana menciut—seperti anak tikus yang terjebak di kandang kucing—justru semakin membuatnya jail untuk menarik seringaiannya.

“Kamu tunggu di luar aja, ya?” Rakha berbisik di telinga Liana yang masih menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Lantas Liana meresponnya hanya menggeleng enggan.

“Di luar aman, kok. Nanti Ricky setelah selesai sama urusannya dia juga bakal nemenin kamu. Mau, ya? Kalau kamu di sini, nanti jadi sasaran empuknya dia,” tutur Rakha yang semakin melembut berusaha membujuk Liana.

Ucapan Rakha yang terdengar syahdu di telinganya membuat Liana jadi meluluh. Mengangkat wajahnya mendongak. Menelisik sebuah keyakinan dalam bola mata pria itu—yang terlihat sedikit memohon dan merasa bersalah. Lantas Liana mengangguk bersamaan sebuah sunggingan senyuman yang tulus. Ia membebaskan dirinya dari pelukan erat Rakha. Keluar dengan langkah cepat sebelum tangan Bas menyentuh pergelangannya.

Rakha yang mengetahui itu, segera ia menyeret lengan Bas kasar. “Urusan lu sama gue. Biarin dia pergi,” ketusnya memperingati dengan raut dingin.

Bas menarik tangannya agresif hingga Rakha melepaskan cengkramannya. Tatapan matanya mengkilap menyiratkan pancaran sinar kemurkaan. “Urusan kita bakal selesai kalau Liana yang nikah sama gue! Gue akan menghancurkan semua usaha mati-matian lu untuk menghilangkan kutukan. Dengan begitu, selamanya keluarga lu akan tetap terusik oleh kutukan sialan itu. Jadi, lu sebaiknya diam aja di sini. Biarkan gue nikah sama dia, dan gue nggak akan mengusik lagi keluarga lu.”

Bas menawarkan sesuatu hal yang jelas sekali akan ditolak oleh Rakha mentah-mentah. Mana mungkin dia akan melepaskan Liana nikah bersama orang lain.

Gadis itu, selain sebagai kunci penghapus kutukan leluhurnya, juga telah membuat Rakha sadar bahwa masa lalu tidaklah bisa dijadikan acuan sebagai masa depannya. Mungkin, sebelum ia bertemu dengan Liana, Rakha akan terus terjerumus dalam jurang keterpurukannya terhadap masa lalu. Akan tetapi, setelah hadirnya Liana telah membuatnya tahu bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan orang baru yang menyenangkan.

Big no! Rakha tidak mungkin menerima gadis yang mampu membuatnya tenggelam dengan masa-masa indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya pergi bersama orang lain. Dan lagi, tawaran macam apa itu? Bukankah itu tawaran yang tidak setimpal? Seandainya dia harus merelakan Liana menikah dengan Bas, dan Rakha juga harus menerima fakta bahwa usaha keluarganya selama ini untuk menghapus kutukan akan menjadi hal yang sia-sia.

Ch, ibaratnya dia yang berniat untuk memecahkan uang seratus ribu malah dikasih sepuluh ribu. Ya jelas merugi.

“Lu pikir gue bodoh? Nggak apa, deh, kalau lu terus ganggu keluarga gue. Mau sampai gue beranak-pinak dan lu masih ganggu keluarga gue, gue bakal ikhlasin, deh.” Rakha melangkah maju lebih dekat dengan Bas. Mendekatkan kepalanya di samping telinga Bas dan berbisik sinis, “Tapi keikhlasan gue nggak berlaku pada Liana. Dia tetap jadi milik gue. Lu pasti lebih tahu itu.” Menilik perubahan ekspresi Bas melalui sudut matanya. Bas terlihat menggertakan rahang dan matanya melotot geram.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang